Catatan di Polewali Mandar #8
Introducing: Yogi (Not) Bear, But Just Yogi
Catatan di Polewali Mandar is back! Yah, banyak draft dari
chapter ini yang terbengkalai dan teronggok di folder begitu saja. Stagnan dan
kadang meronta-ronta minta diselesein gitu #toomuch. Jadi, sekarang sudah tahun
2018 dan rasa-rasanya pengen lebih sering nulis hal-hal ga penting tapi tetap
berkesan #iyainaja. And here I am dengan semangat baru untuk nulis, pada
akhirnya aku memutuskan untuk nulis lanjutan catatan perjalanan di Polewali
Mandar. Untuk yang belum tahu, cari aja tulisan Catatan di Polewali Mandar di
blog ini, tentang bagaimana aku bisa tiba-tiba berada di salah satu kabupaten
di Sulewesi bagian barat.
This time, catatan ini akan aku persembahkan untuk
salah satu murid yang berjasa banget ketika aku hidup di sana. But, dia ga se-spesial
itu si, nanti kalo dia baca tulisan ini kepalanya bisa-bisa gede karena ngrasa
dispesialkan begitu saja. His name: Yogi. Iya Yogi aja namanya tanpa
embel-embel apapun. Bukan Yogi Bear pula, tapi di lembar presensi namanya
tertera Yogi Haryadi. Setelah kutanya, Haryadi nama bapaknya (iya gak ya? lupa,
tapi nanti bisa kutanyain orangnya #gapenting). Temen-temenya suka panggil dia
Ogie. Yogi: kind student rela nganter sana-sini yang suka telling his story dan
demen dipoto. Why, dia berjasa sekali? Ini ceritanya.
yee bilang sok cool cerewet tapi kangen juga
Awal mulanya, Yogi ini masuk klub “Ayok latihan nulis yang bener biar
tulisannya bisa dibaca” (hahaha, nama klub apa ini???). Ada tiga murid
spesial yang tulisannya unpredictable banget
dan luar biasaaaah, iya alias susah dibaca dan mereka nulisnya ngasal: Yogi,
Santi, dan Anwar. Mereka bertiga ini aku ajak untuk masuk klub “Ayok
latihan nulis yang bener biar tulisannya bisa dibaca”, mereka semangat
untuk ikut klub ini, padahal klub ini ilegal #yaallah. Iya, gak ada yang tahu
ada klub ini, ini semacam klub bawah tanah yang super rahasia. Misinya bukan
menyelamatkan dunia, tapi menyelamatkan tulisan mereka dan orang yang baca
tulisan mereka #hhahhaha. Mereka bertiga niat masuk klub ini dengan keyakinan
setelah masuk klub ini, tulisan mereka bisa berubah jadi lebih indah
#ngrasaberdosa. Padahal tujuan utama klub ini, buat mereka bertiga bisa mengubah
kebiasaan menulis mereka yang acakadut dan paling tidak tulisan mereka sedikit
bisa dibaca dengan huruf yang lengkap. Cuma beberapa kali saja pertemuan klub
ini, karena dengan antusias mereka yang menggebu-gebu, dengan cepat tulisan
mereka sedikit bisa dibaca dan kata-katanya bener #alhamdulillah. Jadi klub ini
dibubarkan begitu saja #hahaha. Suatu ketika sepulang dari klub, aku iseng
tanya tempat-tempat bagus di Polewali Mandar, dan dengan semangat sekali Yogi
ini menjelaskan beberapa tempat yang harus dikunjungi. Aku tiba-tiba nyeletuk, “Yogi,
bisa antar saya ke sana?” dan dengan mantap ia mengangguk.
Maka dimulailah perjalanan untuk eksplorasi
tempat-tempat yang belum aku kunjungi. Sebenarnya perjalanan ini adalah
perjalanan egois dengan idealisme yang tinggi. Bagaimana tidak, dengan pergi
bareng Yogi, berarti aku meninggalkan temen-temen tim7. Tapi aku berpikir jika
dengan tim7, perjalanan seperti ini bisa saja tak terlaksana dan tidak akan praktis
tentunya, #myapology. Apalagi dengan motor dari keluarga Bapak yang tidak
banyak, akan sulit rasanya jika pergi berbanyak. Maka dari itu, Yogi adalah the
best way untuk pergi #hwakdezig. Perjalanan
pertama adalah ke Bendungan Sekka-Sekka, setelah beberapa kali rencana kita
hanya sekadar wacana, pada tanggal 8 April (#uhukkk it’s my birthday) Yogi
dengan tergopoh-gopoh berkata, “Pak, nanti sore harus jadi ya! Saya cari
motornya dulu.” Kemudian dia pergi gitu aja. Padahal aku baru mau jawab, “Kalau
tak ada motor tak usah jadi saja Yogi.”
Tapi sorenya dia benar datang, katanya ia meminjam
motor sepupunya. Maka berangkatlah kita ke Bendungan Sekka-Sekka. Selama
perjalanan dia sering bercerita, tentang keluarganya yang ada di Malaysia (Ibu
dan kakaknya bekerja di sana), bagaimana dia pindah dari Malaysia ke sini (dia
sekolah SMP di sana), seputar kehidupan asmaranya (kenapa bisa putus sama anak
ibu kantin yang sekolah di SMA lain) #sial. Kita sampai, tempatnya bagus tapi
airnya sedang tidak banyak. Maklum sudah mulai musim kemarau saat itu. Aku
minta dia untuk memotretku (tak lupa bawa kesayangan Niki!!), ternyata dia malah
yang pengen dipotret terus #pengensledingpalanya. Hari sudah sore, Yogi
mengusulkan ke bukit dekat bendungan, bagus katanya. Aku mengiyakan, di
perjalanan petaka itu datang, ban motor bocor pada saat sepi karena kita sedang
melintasi area persawahan #alamaak. Huft, dorong dehh....dan dorongnya jauhh
meeen, 5km ada kali. Aku menyuruh untuk Yogi mencari tambal ban dengan menaiki
motor tsb sendirian, soalnya kalau buat boncengan nanti motornya bisa-bisa
jebol #motorhasilminjemcoyy. Alhasil Yogi meninggalkanku dengan mengemban misi
cari tambal ban sampai dapat, aku? jalan sendirian di antah-berantah hanya
berbekal helm, dompet, handphone (mau lowbat batrenya, perfect!), dan kamera. Huaaaaaah
pada akhirnya rumus dunia yang mengatakan, “In
the end, being lazy at home is the best”, itu bener banget, asli!
Sudah hopeless karena si Yogi ga balik-balik dan
berniat untuk nebeng orang di jalan dengan harapan si Yogi bisa mikir cerdas
dia bakal balik ke rumah tanpa aku (ini kondisi hape udah mati karena lowbat). Tapi
ternyata dari kejauhan dia nongol, rasanya tuh lega campur bahagia #asli. Inginku
langsung pulang setelah shock dengan kejadian yang baru saja terjadi. Tapi Yogi
keukeuh ngajak ke bukit dan liat matahari terbenam #iyainaja. Tapi sumpah, surprisingly pemandangan dari atas bukit
kiyott banget #sumpaah. Baru tau pas pulang kenapa Yogi keukeuh ngajakin ke
bukit, biar ada poto bagus pas di atas bukit saat matahari terbenam pula #pengennampolpakehelm.
Kita pulang pas udah maghrib #infoaja.
muka tengil minta dilempar helm
Dia heboh banget sama hasil siluetnya sendiri
ga rugi ngajarin ni bocah bawa kamera
Mei 2017, sesudah pelajaran Yogi nyamperin dengan
clingak-clinguk dan berbisik, “Pak, ayo Ke Majene!!” Duaaaaar, ini kaget
betulan. “Majene? Jauh itu Yogi.” (Padahal aslinya mau banget #hahaha). Majene ini
kabupaten lain di Sulawesi Barat, tapi ternyata untuk destinasi selanjutnya:
Pantai Dato dan Pantai Barene yang ada di Majene hanya 30 menit dari kecamatan kita
tinggal, lebih dekat daripada ke ibukota kabupaten. Takdir membawa kita ke
Majene, berbekal motor pinjaman sepupunya lagi. Pantai Dato ini terkenal banget
di Sulawesi Barat. Dilanjutkan ke Pantai Barane yang instagramable banget, kita
pulang sekitar maghrib lagi karena sebelumnya kita makan dulu di Pondok Kelapa.
Oh iya, tak ada kejadian apa-apa sewaktu kita ke Majene, cuma kita nyasar itupun
tak lama. Maklum, kita hanya berbekal google maps dan insting karena ternyata Yogi
juga belum pernah ke sana #hwakdezing.
Majene done!
Liburan semester ternyata Yogi ke Malaysia, mau
nengokin mamaknya katanya. Padahal pengen keliling-keliling untuk jelajah
tempat lain daripada ngowoh dan glundungan di rumah. Hingga akhinya bulan
Agustus datang, bulan kita pulang ke Jawa karena perjalanan selama setahun
selesai. Yogi ini setiap ketemu mukanya sedih muluk, sedih karena mau pisah apa
sedih gak bisa dipotret lagi susah dibedain #hahahahaha. Suatu ketika ia nyamperin
dan berbisik lagi, “Pak ayok kita ke mana lagi, sekarang Bapak yang pilih
tempatnya pasti saya antar,” #deeeeeeessssshhh...sedih si part ini, karena
besok-besok udah gak ketemu dan kayaknya kehabisan waktu untuk eksplor tempat-tempat
yang belum dikunjungi, huuuaaaaaaah. Aku memutuskan untuk ke sebuah jembatan yang
kece (liat di instagram), Yogi mengiyakan – pada waktu itu dapat motornya cepet
dan gak susah seperti biasanya. Kita berangkat seperti biasa, sore hari dan
hanya sebentar di sana karena tempatnya banyak nyamuk #apalaini. Kita mampir ke
Pantai Palippis (sudah pernah, baca Catatan
Polewali Mandar #3).
Di Pantai Palippis kayaknya Yogi gak mau pulang,
ibaratnya ni dia mbatin “don't let the sun
go down” (kayak judul laguu) #tsssaaaaah. Dia banyak cerita #tibatibabanget
soal dia yang mutusin untuk ngubah cita-citanya yang tadinya dia getool banget
mau jadi pilot dan sekarang lebih milih buat kuliah di Jawa entah bagaimana
caranya (kan padahal bisa kuliah pilot di Jawa #gagalpaham). Katanya biar bisa
ketemu guru-guru dari Jawa (kita – tim7). Ini sumpah sedih, hmmm aku bilang ke
dia, “Ya kalau takdirnya begitu tidak apa-apa, yang paling penting kamu
perjuangkan apa yang jadi cita-cita kamu, keinginan kamu, pasti ada jalannya
kok.” #akumacakbijak. Kita pulang pas maghrib, perjalanan terakhir kita dan
rasa-rasanya ada backsong Safe and Sound-nya
Taylor Swift.
Kita murid dan guru iya, tapi kita jadi dekat karena
eksplor-eksplor tempat bagus dan kita ibarat win-win solution, aku butuh dia
yang bisa nganter kemana-mana dan jelajah tempat-tempat bagus, dia juga pengen untuk
dipoto dan belajar kamera. Hmmm, sampai mau pulang dia nurut banget kalo aku
suruh-suruh, bantuin perpisahan sampai tidur di sekolah karena jagain alat-alat,
jadi tukang poto pas perpisahan (karena Niki mode otomatisnya rusak dan cuma bisa
manual – si Yogi ini bisa ngotak-atik karena belajar pas jalan-jalan), nganter
ke kafe di jalan poros – kita nglayap sama Mas Aris dan Widhi. Ngrasa punya
adek cowok yang bisa disuruh-suruh #hahahaha. Sewaktu pulang dia ngasih poto
kita berdua yang dipigura #mrebesmili. Kita masih sering telpon-telponan sampai
sekarang, tanya kabar sekolah, dan aku masih sering godain dia soal Tita
(mantan pacarnya yang anak ibu kantin – hahahaha), dan terakhir dia kirim
pesan.
Pak, kalo Bapak nikah saya mau ke tempat Bapak. Tapi pulangnya
bayarin ya!!
Whoott? Huft. Kzl.
Berbekal motor dan helm pinjaman bisa kemana-mana
¤∞∞¤∞∞¤
0 comments