Perjalanan hati: A Confession


Perempuan itu kini sudah berusia 20 tahun, ia berada di sebuah ruangan dengan meja bar yang tinggi. Ia berada di ruang istirahat stasiun radio, entah hal apa yang merasuki dirinya hingga ia mau menjadi penyiar di radio tersebut, semua itu gara-gara Aini sahabatnya yang juga sama-sama penyiar di radio tersebut. Kini ia hanya memandang minuman yang ada di hadapannya. Ia dikejutkan dengan seseorang yang memanggil namanya.
“El....”
Perempuan bernama El itu menoleh. “Ada apa Kak Nirma?” Tanya ia pada seseorang bernama Nirma yang merupakan manajer siar di radio tersebut.
“10 menit lagi giliran kamu siaran, Aini udah mau selesai, buruan ya!” Perintah Nirma.
“Siap bos!” El menengadah membuat gerakan hormat.
El sampai di ruang siaran ketika Aini baru saja menyelesaikan siarannya. Sekilas menyapa Aini kemudian El bergegas untuk mempersiapkan siarannya. Ia memulai siarannya yakni sebuah program yang berisi curahan hati pendengar, dimana pendengarnya bebas untuk mencurahkan apa yang ingin ia sampaikan. El sangat senang mendengar cerita-cerita yang disampaikan pendengar setianya di program ini. Banyak kejadian entah itu lucu, haru, sedih, bahagia, dan bangga ada di dalam cerita-cerita yang disampaikan para pendengar dalam program ini.
Setelah musik berakhir, ia mulai bercuap-cuap lagi, “Satu musik keren dari Sara Bareilles yang berjudul Gravity, lagu gagal move ini sukses memporakporandakan pertahanan hati orang-orang yang mau move on, apakah kamu salah satunya sahabat pendengar? Hmmm.. kadang kita butuh kekuatan lebih untuk melepas seseoarang yang telah lama di hidup kita, meskipun kita jarang menerimanya dengan lapang dada, justru itulah hakikat sesungguhnya sebuah penerimaan. Kau tak akan pernah tahu jalan kisahmu sendiri. Oke, tema kita hari ini adalah hal yang berhubungan dengan move on. Kamu bisa telepon sekarang juga dan kamu bebas menceritakan apapun dalam kehidupanmu dan tentu saja harus berhubungan dengan tema kita hari ini, yakni move on.” Kata El dengan nada riang.
El menunggu penelpon masuk. Tak selang berapa lama ada bunyi telepon. Pertanda ia akan siap menyimak cerita apapun dari sahabat pendengar kali ini.
“Halo, siapa disana?” Sapa El.
“Ehmmm, bolehkah saya tidak menyebut nama saya?” Suara laki-laki di ujung sana.
El tiba-tiba kikuk, “Ehhmm...mmmm..boleh, tak apa, tapi aku harus memanggilmu apa sahabat pendengar?”
“Panggil saja saya laki-laki baik hati.” kata laki-laki itu.
“Wah, kau percaya diri sekali, apakah benar kau baik hati?” Tanya El dengan rasa bingung.
“Mantan kekasih saya yang menyebut saya demikian, ini perihal saya dan dia, saya ingin menceritakan kisah kami.” Lelaki itu menjawab dengan penuh yakin.
Dalam hati El berkata, “Aku kenal suara ini, Hafi. Tidak salah lagi. Jangan-jangan yang dia maksud mantan kekasih itu.....”
“Halo.....apakah saya boleh bercerita?” Lelaki itu bertanya pada El.  
El berpikir keras, ia yakin bahwa suara si penelpon yang akan mengutarakan kisahnya kali ini adalah Hafi, tapi bagaimana jika Hafi berbicara yang tidak-tidak.
El takut, “Kau yakin?”
“Seratus persen aku yakin, aku ingin kau mendengarnya dan seluruh pendengar radio ini,” Kata Hafi yang memberi penekanan pada kata kau.
“Emm...baiklah, kau boleh bercerita.” El masih diliputi perasaan was-was dan risau. Mimpi apa ia semalam bagaimana bisa Hafi akan menjadi pencerita kali ini.
Hafi memulai ceritanya, “Bagaimana rasanya kau tiba-tiba diputus begitu saja ketika kau yakin hubungan kalian baik-baik saja, bagaimana rasanya tiba-tiba menerima kenyataan itu disaat kau yakin bahwa yang ada dalam hubungan kalian hanya tawa?”
Hening sejenak.
Kemudian Hafi melanjutkan ceritanya, “Aku tak paham dengan jalan pikirannya, bahkan sampai saat ini aku belum mendengar alasan yang pasti mengapa dia memutus hubungan ini, semua orang semakin beranggapan yang tidak-tidak. Kita dulu berjanji akan tiba di akhir perjalanan yang sama ketika kita di perahu yang berbeda. Semua sudah tinggal harapan hampa.”
El masih terdiam, bagaimana bisa Hafi menggunakan kata kita di sini, ia hampir menahan tangisnya agar tak keluar, ini masih siaran pikirnya. Hafi masih bercerita, ia kadang berhenti sejenak untuk mengambil napas dan sesekali El menanggapinya hanya dengan suara hmmm.
El mengumpulkan segenap tenaga untuk bertanya, “Apa yang kau inginkan dari dia wahai laki-laki baik hati.”
Hafi tertawa, El menjadi bingung.
“Lucu, aku malah ingin dia bertanya seperti kau barusan.”
El tercengang, ulu hatinya seperti tertohok dengan kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Hafi.
Hafi melanjutkan, “Aku hanya ingin sebuah kejelasan darinya, keluar dari mulutnya sendiri dan aku tak akan pernah berharap lebih, aku akan mencoba menerima semuanya...ya semuanya.....dan aku tahu hal itu pasti akan mendobrak batas akal sehatku untuk memaklumi dan memahami setiap perkataannya. Aku ingin sebuah kejelasan apakah aku boleh melupakannya atau tidak, apakah aku boleh menutup pintunya dan membiarkan orang lain masuk atau tidak.”
 “Untuk apa? Bagaimana jika kau semakin terluka dengan jawabannya?” Tanya El.
“Aku tahu kita akan sama-sama terluka, dia dengan pertanyaanku dan aku dengan jawabannya, dulu dia yang pernah bilang bahwa setiap orang punya rasa takut, menghindar atau melawan adalah jalannya, dan dia juga yang selalu bilang bahwa jalan menghindar hanya untuk seorang pengecut.”
“Baiklah laki-laki baik hati, maaf tapi waktu untuk kau bercerita sudah habis, kau boleh request satu musik keren.” El memotong.
“Terima kasih sudah memperbolehkan aku bercerita di sini, aku yakin dia mendengar ceritaku, satu hal lagi yang ingin kukatakan padanya, aku hanya ingin dia jangan pernah berkata pada orang-orang bahwa dia sudah move ketika alasan yang ia berikan padaku saja tak jelas, sekali lagi terima kasih. Aku ingin mendengarkan Raisa dengan lagunya mantan terindah.”
“Baiklah, laki-laki baik hati terima kasih sudah berbagi kisah dengan seluruh sahabat pendengar, see you.” Kata El mengakhiri percakapan tersebut.
Namun, sebelum menutup teleponnya Hafi berkata, “Aku merindukannya.”
El terkejut seketika, ia diam seribu bahasa. Sampai Kak Nirma mengkode agar El tetap melanjutkan siarannya. “Satu musik keren dari Raisa dengan mantan terindah check this song guys, dan terkhusus untuk laki-laki baik hati yang udah request.”
Mengapa engkau waktu itu putuskan cintaku
Mau dikatakan apa lagi kita tak akan pernah satu
Engkau di sana aku di sini
Meski hatiku memilihmu
Andai ku bisa ingin aku memelukmu lagi
Oh di hati ini hanya engkau mantan terindah yang selalu kurindukan
Yang telah kau buat sungguhlah indah
buat diriku susah lupa.....
Lirik-lirik lagu itu masih menggantung di langit-langit ruang siaran ketika El memejamkan matanya, sungguh ia berharap ini hanya sebuah mimpi.
***
Pukul 9 malam, El selesai siaran dan ia bergegas untuk pulang. Ia berpapasan dengan Aini.
“Aini kau belum pulang? Sapta belum menjemputmu?” Tanya El.
“Belum El, di luar hujan dan mungkin saja Sapta sedang berteduh entah dimana, maklum dia menjemputku dengan sepeda bututnya,” Aini terkekeh.
“Butut-butut begitu, punya sejuta kenangan tau.” El tertawa.
Tiba-tiba di luar sudah nampak Sapta yang basah kuyup. Aini segera berpamitan dengan El.
“Sampai jumpa Aini, hati-hati di jalan, salam untuk Sapta.” Kata El.
El juga sedang menunggu jemputan. Di luar ada seseorang pastilah itu jemputannya, pikir El. Namun setelah ia keluar dari bangunan tersebut, ia terperanjat bukan main. Orang itu bukanlah orang yang akan menjemputnya, melainkan.....
“Hafi, apa yang kau lakukan di sini?” El terpaku seketika.
to be continued


*Cerpen ini merupakan sekuel dari Perjalanan Hati: A Decision
*Didekasikan untuk sahabat saya ELGA MAULINA
*Terima kasih Raisa dan mantan terindah-nya.





You Might Also Like

0 comments