Hidup adalah Sebuah Ironi - II (Pisah)



Mari pikirkan lagi apakah semua akan baik-baik saja jika kami bersama, pikiran egois di kepalaku berkali-kali mengatakan hal tersebut. Aku berdebat dengan pikiranku sendiri, benar atau salah keputusan yang akan aku ambil dan berulang kali aku memikirkan hal ini. Hingga akhirnya semalaman aku memikirkan hal yang membuatku gila, keputusan yang kuambil: kami harus berpisah.
Keesokan harinya aku mengatakan padanya, dia tentu saja terkejut dan aku harus menjelaskan dengan perlahan dan mendalam bagaimana hubungan ini tak bisa diteruskan. Ia akhirnya mengerti bahwa pisah adalah satu-satunya jalan yang harus kami pilih. Pada akhirnya kami tidak di perahu yang sama lagi. Pelukan terakhir begitu hangat dan akward.
Biar dia mengutukku, biar aku yang mengambil peran jahat dalam cerita kami, tanpa harus ia sadari alasan terkuat yang kupilih mengapa kami harus pisah. Aku sempat berpikir apa yang salah dalam hubungan ini, pikiran dan perasaanku yang menjawab bahwa ia terlalu sering menyebut nama orang lain. Awalnya aku tak memperdulikannya tetapi seiring berjalannya waktu, nadanya saat menyebut nama orang lain benar-benar menggangguku. Aku tak tahan, mengapa? Seperti hatinya tak pernah berada di tempat aku berada. Mengapa dia bisa setega itu? Dia bilang dia menyukaiku, tetapi ini bisa saja salah. Kami tak sempat mengalami perdebatan yang dahsyat, perdebatan kami dalam skala kecil namun intens dan berulang-ulang. Permasalahannya selalu itu-itu saja, dan hal itu membuatku muak. Di akhir perdebatan kecil kami dia selalu meyakinkanku bahwa akulah satu-satunya namun itu bisa saja dusta. Aku lelah bersandiwara seperti tak terjadi apa-apa, pada kenyataannya itu merusak kesabaranku. Hingga akhirnya aku pada batas lelahku, dan aku memutuskan untuk mengakhiri ini semua.
Mengapa? Aku berkali-kali mengatakannya pada pikiranku sendiri. Aku lelah bertahan sendirian dan aku tak tahu sampai kapan aku harus bertahan sendirian. Aku pergi, tanpa memberitahunya alasan yang sebenarnya. Semua tak berjalan dengan apa yang kami pikirkan, selalu aku sendiri yang mencoba untuk tetap membawa perahu yang kami tumpangi bersama bisa sampai tujuan entah di manapun itu. Aku tak bisa berusaha sendirian kupikir, ia mencoba menghancurkan perahu yang membawa kami berkali-kali.
Pada akhirnya aku tetap mendoakan dia, semoga dia ikhlas dan masing-masing dari kami mendapat perahu untuk berlayar lagi dan bahkan mendapat penumpang lain dengan tujuan yang sama. Semoga.

“Perdebatan apapun menuju kata pisah. Jangan paksakan genggamanmu.” –Tulus;2016-

You Might Also Like

0 comments