Laki-Laki Itu Edgar: Pertanyaan Pertama
“Pikirkan dengan baik,
karena dengan tiga pertanyaan yang akan kau ajukan padaku sekarang tak akan ada
lagi pertanyaan-pertanyaan di masa depan.”
“Mengapa hanya tiga
pertanyaan? Kamu sendiri terlalu abu-abu, bagaimana bisa hanya tiga pertanyaan
yang aku ajukan, harusnya seratus pertanyaan itu baru adil.” Nada Lili
meninggi.
“Ini pertanyaan pertamamu?
Mengapa hanya tiga pertanyaan, baiklah akan aku jawab pertanyaan pertamamu,” Edgar
tersenyum tipis.
“Tunggu, tunggu Edgar, itu
bukan semacam pertanyaan yang akan aku ajukan... Haahhh.. oke-oke kamu memang
tetap Edgar yang dulu, baiklah ini pertanyaan pertamaku.” Lili menatap langit-langit
restoran dan ia berpikir.
Ada jeda yang panjang
ketika Lili akan mengajukan pertanyaan pertamanya, ia kini menatap Edgar
lekat-lekat dan ia tahu bahwa Edgar tetaplah Edgar, Edgar yang datang dari masa
lalu. “Bagaimana keadaanmu?”
“Serius Li? Aku tahu pasti
di pikiranmu banyak sekali pertanyaan yang akan kau ajukan padaku. Tapi yang
ingin kau tahu hanya keadaanku, baiklah aku jawab dengan jawaban terbaik.
Seperti yang kau lihat sekarang ini, aku baik-baik saja dan bahkan aku bisa menyebut
diriku lebih dari baik. Aku selalu baik-baik saja asal kau tahu, bahkan di
Amerika hingga sekarang pun aku selalu baik-baik saja.” Edgar menjawab dengan
mantap.
Lili membenarkan posisi
duduknya, “bukan keadaan seperti itu yang aku tanyakan, kabarmu setelah
kejadian 7 tahun lalu, seorang Edgar Prasetya yang kulihat menangis untuk
pertama kalinya.”
Edgar terguncang bagai
disambar petir di siang hari, ia tak tahu bahwa Lili akan mengajukan pertanyaan
yang paling ia hindari, yaitu tentang masa lalunya. Edgar sudah ingin membuang
luka lama itu jauh-jauh, ia tak mau mengingat apa yang terjadi di masa lalunya,
tapi kini ia terjebak dengan permainan tiga
pertanyaan-nya sendiri.
Lili mengajukan pertanyaan
tersulit dalam hidupnya yang bahkan ia sendiri masih tak mengerti jawabannya.
Kini, tangan Edgar bergetar dan peluh jatuh dari pelipisnya, Lili bisa melihat
itu, perubahan Edgar yang tiba-tiba. Lili menyimpulkan bahwa Edgar ketakutan. Mau
tak mau sepotong demi sepotong adegan 7 tahun lalu kembali hadir di benak
Edgar, ketika ia pertama kali bertemu dengan Lili, dan fakta lain bahwa ia juga
menangis di hari itu, hari terkelam seorang Edgar.
Sesosok laki-laki bertato
di seluruh badannya merobohkan pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah. Malam
itu hujan deras dan mereka sedang berada di lapangan kecil dekat halte bis.
“Lo bisa-bisanya jadi
pengecut, sekarang kelompok kita malu gara-gara tindakan bodoh lo.” Pukulan
laki-laki bertato itu melayang ke arah pemuda dan mantap mengenai pipi pemuda
yang kemudian jatuh tersungkur di tanah.
“Gu...gu...gue udah bilang,
kita kalah jumlah dan gue gak mau pihak kita jatuh korban, jadi gue
instruksikan buat mundur bang.” Ucap pemuda itu gagap.
“Pengecut lo Gar, gue gak
didik lo buat jadi pengecut. Meski lo kalah jumlah harusnya lo ga usah mundur,
lawan sampai titik darah penghabisan lo, kalo perlu lo mati di sana.” Kini
lelaki bertato itu berada di atas pemuda berseragam sekolah, melayangkan
pukulannya berkali-kali ke wajah pemuda itu sambil mencengkeram kerah seragam
pemuda yang sudah terkena cipratan darah.
Ya, pemuda itu adalah Edgar
7 tahun yang lalu. Edgar tak akan pernah bisa melawan lelaki bertato itu,
inilah harga mahal yang harus ia bayar ketika tadi siang ia lebih memilih
melarikan diri saat terjadi pertempuran antar geng, Edgar sadar bahwa
pertempuran ini tak seimbang, ia dijebak oleh lawan. Namun, pertempuran tetap
terjadi dan berlangsung lama, hingga Edgar memutuskan untuk mundur. Jika tidak,
ia berpikir ia semua anggota kelompoknya akan mati hari itu. Namun, ia
tampaknya akan mati malam itu. Edgar sudah pasrah jika malam itu adalah
kematiannya.
“Lo tahu, geng kita
diketawain sama geng lain. Kita dianggap pengecut, lo merusak nama geng kita
Gar, mulai sekarang lo keluar dari geng ini dan jangan pernah nginjak markas
lagi camkan itu baik-baik!!!” Lelaki bertato itu berteriak dan menghempaskan
Edgar ke tanah, ia berhenti memukuli Edgar, sebelum ia beranjak pergi lelaki
itu menendang Edgar yang sudah tak berdaya lagi. Lelaki bertato pergi dengan
berteriak memaki Edgar.
Edgar mengerang, ia
merasakan kesakitan dan hujan menambah semuanya menjadi tampak pedih. Ia
mencoba untuk berdiri namun semuanya sia-sia. Ia merasakan semua tiba-tiba
menghitam, sebelum ia menutup matanya ada sesosok perempuan yang menghampirinya
dan berteriak padanya. Namun, Edgar sudah tak mendengar apa yang dikatakan perempuan
itu hingga ia benar-benar tak sadarkan diri, Edgar pingsan.
Edgar membuka matanya,
anehnya ia seperti berada di sebuah tempat yang tak asing baginya, rumahnya! Ya
ini benar-benar rumah kecil yang ia tinggali bersama ibunya. Edgar bangun dari
tempat tidur, anehnya ia tak merasakan sakit. Ia bercermin, ajaib karena luka-lukanya
telah hilang. Ibu menghampiri Edgar, ibu memeluk Edgar dengan penuh hangat. Tak
biasanya ibu memeluk dengan erat seperti ini, pikir Edgar. Pelukan ibu juga
lama sekali, seolah waktu tiba-tiba berhenti. Ibu melepas pelukannya, kini ia
memandang lekat-lekat anak satu-satunya.
“Ibu sudah berulang kali
memberitahu kau Edgar, jangan berkelahi lagi. Ibu tidak suka kau selalu pulang
dengan wajah biru-biru. Sudah saatnya kau mulai memikirkan tujuan hidupmu. Ibu
tak akan menasihatimu lagi, ini nasihat ibu yang terakhir.” Ibu tersenyum
tipis.
“Ibu, ada yang aneh dengan
ibu hari ini. Ibu memarahiku dengan nada pelan, biasanya ibu memarahiku dengan berteriak
sambil memegang sapu dan berkacak pinggang. Ibu tidak apa-apa?” Edgar bertanya
bingung.
“Kau ini tak pernah
berhenti membuat masalah, dengarkan ibu Edgar, ada saatnya kau berhenti
bermain-main dan kini adalah waktu yang tepat, semoga kelak kau menjadi anak
yang bisa ibu banggakan. Ibu sayang Edgar melebihi apapun di dunia ini. Hanya
satu permintaan ibu, anak satu-satunya ibu harus jadi anak yang kuat dan
bahagia.” Ucap ibu sambil membelai rambut Edgar, kini Ibu memeluk Edgar lagi
dan hal ini tentu saja membuat Edgar bingung.
Ibu beranjak dan ia
melangkah seakan ingin keluar rumah, Edgar sungguh bingung dengan adegan ini,
apa maksudnya semua ini pikir Edgar.
Edgar memanggil ibunya, “Ibu mau kemana? Bukankah ini waktunya kita makan
malam?”
Ibu menengok sambil
berkata, “Ibu pergi Edgar, ingat pesan Ibu!”
“Aku ikut bu, kemanapun Ibu
pergi aku ikut.”
Ibunya menggeleng dan
menutup pintu. Edgar masih tak percaya apa yang sebenarnya terjadi dan seketika
pandangannya kabur dan menghitam. Saat membuka matanya ia mengenali ruangan itu
adalah ruang sebuah rumah sakit, ia berbaring di tempat tidur rumah sakit. Iya
ini bau rumah sakit pikir Edgar. Ternyata tadi ia bermimpi. Ia merasakan sakit
di seluruh badannya. Yang ia ingat sebelum pingsan adalah sosok perempuan yang
menghampirinya seusai dia dipukuli lelaki bertato.
“Syukurlah kau sudah sadar,
hah kau membuatku khawatir. Tenang saja aku sudah membawamu ke rumah sakit dan menelpon
polisi. Untung saja tepat waktu, kata dokter jika terlambat kau bisa saja mati,
eh meninggal maksudku.” Kata seseorang.
Edgar mengenali orang itu,
ya ia adalah perempuan yang dilihatnya sebelum tak sadarkan diri. “Kau siapa?
Mengapa kau membawaku ke sini, dan apa urusannya dengan polisi?” Edgar masih
bingung dengan apa yang terjadi sekarang ini.
Perempuan itu mendekat ke
arah wajah Edgar, “Aku Lili, penyelamatmu. Tenang saja karena lelaki yang
memukulimu akan masuk penjara aku sudah melaporkannya pada polisi.” Lili
tersenyum tipis.
“Kau sudah gila? Kau hanya
membuat segalanya jadi runyam.” Edgar mendengus sebal, ia beranjak dan melepas
selang infus yang menancap di tangannya. Ia harus segera pergi menyelesaikan
masalah ini sebelum semuanya terlambat.
“Kau tak boleh pergi,
tunggu dulu....dokter pasien ini ingin kabur dok,” Lili berteriak sambil menghadang
Edgar, Edgar ingin menghindar namun kondisinya yang belum benar-benar pulih
menyebabkan ia tak bisa berbuat banyak.
Dokter jaga datang dan
memaksa Edgar untuk tetap berbaring di tempat tidurnya. Edgar ingin berontak
tapi tak bisa. Tiba-tiba datang perawat yang berlari ke arah mereka dengan muka
panik.
“Dok, pasien yang datang
tadi sore keadaannya memburuk. Dokter harus segera ke sana.” Nada perawat itu
meninggi.
“Pasien yang pendarahan
otak itu?” Tanya dokter dengan sedikit panik.
Lili yang mendengar
percakap itu tiba-tiba saja kaget bukan main. “Tunggu dulu, pasien pendarahan
yang datang tadi sore, apa pasien itu seorang ibu-ibu?
Perawat itu mengangguk.
“Hei, ibu-ibu itu aku yang
membawanya tadi sore kesini. Aku tadi sedang mencari anggota keluarganya ke
rumah di Jalan Bintang Baru No. 79, namun rumah itu tak ada orang jadi aku
memutuskan untuk kembali kesini, namun aku harus mengulang kejadian yang sama.”
Lili melirik Edgar di tempat tidur.
Edgar mendengar hal yang
tak asing. “Tunggu dulu, kau bilang Jalan Bintang Baru No. 79, hei sapa nama
ibu-ibu itu?” Tanya Edgar sedikit berteriak.
Lili mengingat-ingat dan ia
berkata, “Melati, ya ibu itu namanya Melati aku membuka dompetnya untuk mencari
tanda pengenal, jadi aku tahu nama dan alamatnya.”
“Oh tidak, dia ibuku!!!”
Edgar berteriak diiringi kekagetan Lili, dokter, dan perawat. Edgar benar-benar
takut dan ia berharap ini hanya mimpi.
To be continued....
0 comments