Laki-Laki Itu Edgar


Jam menunjukkan pukul delapan malam dan hujan baru saja berhenti sejak siang tadi mengguyur kota ini. Sesosok perempuan berpakaian kasual sedang menutup pintu sebuah toko, toko bunga tepatnya. Toko bunga itu peninggalan mendiang ibunya, ia bertekad untuk tetap menjaga dan mempertahankannya. Setelah memeriksa dengan teliti bahwa pintu sudah terkunci dengan benar, perempuan itu mengambil payung yang ia letakkan di sampingnya sedari tadi. Tiga hari ini hujan selalu datang saat malam hari. Perempuan itu berniat untuk segera pulang, rumahnya tak jauh dari toko itu dan hanya 15 menit jika berjalan kaki. Namun, ketika ia berbalik ia mendapati sesosok laki-laki yang tak asing baginya. Laki-laki dari masa lalunya dan sekarang tepat di hadapannya dengan penampilan yang berbeda.
“Bukankah perempuan pulang sendiri malam-malam begini itu berbahaya?” Ucap seseorang.
“Edgar?” Perempuan itu terkejut dan tidak percaya mendapati sesosok laki-laki dari masa lalunya kini hadir di hadapannya.
Laki-laki itu tersenyum, “terima kasih masih mengenaliku Li”, ucap seseorang yang bernama Edgar.
Lili mematung, ia terkejut mendapati bahwa Edgar ada di depannya sedang berdiri dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celananya, yang semakin membuat Lili bingung adalah tampilan Edgar yang berbeda. “Jas? Kemeja? Apa ini kau?”
Edgar tersenyum lagi, “hmmmm mungkin waktu yang mengubahku, kadang aku juga tak percaya jika ini aku.”
Lili berjalan mendekati Edgar dengan masih membawa payung berwarna jingga. “Apa yang kau lakukan di sini? Oh ya, aku dengar kau membuka restoran di kota ini. Selamat chef, kau berhasil!!”
Edgar tertegun, “dari mana kau tahu?”
“Yah, kau tahu kota kita ini kecil sekali dan aku tak akan lupa seminggu yang lalu di televisi dengan berita mencengangkan itu, seorang Edgar Prasetya memenangkan kompetisi memasak di Amerika. Kau membuat bangga kota ini Edgar.” Ucap Lili.
Tiba-tiba suasana menjadi hening karena mereka berdua menjadi diam.
Edgar mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana sembari berkata, “kapan pernikahanmu?”
Lili kembali mematung dan tiba-tiba saja Lili menjadi gagap, “da...da...dari mana kau tahu aku akan menikah?”
“Kau sendiri yang bilang, kota kita terlalu kecil, semua orang pasti sudah tahu pemilik florist kota ini akan menikah dengan seorang polisi yang suka berpatroli di kota ini.”
Lili tersenyum kecil, “pasti dari Iza, kapan kau menemuinya?”
“Itu tak penting Li, yang jadi pertanyaan apakah kau bahagia dengan polisi itu?” tanya Edgar.
“Namanya Rizal dan tentu saja aku bahagia.” Lili membuang muka.
Tiba-tiba saja Edgar meraih tangan Lili dan mengajaknya pergi dengan sedikit berjalan cepat. Lili terkejut dan mencoba untuk melepas tangannya dari Edgar. Tetapi genggaman Edgar terlalu kuat, jelas ia kalah kuat dibandingkan dengan tenaga Edgar.
“Kita mau kemana?” tanya Lili panik.
“Ke suatu tempat, aku tak suka bicara dengan berdiri.”
Nada Lili meninggi, “ini sudah malam Edgar!!” 
“Aku tahu, tenang saja kau tak akan ku culik.” Edgar masih memegang tangan Lili.
Lili sudah tak lagi berusaha melepas tangannya, percuma saja karena Edgar terlalu kuat. Lili hanya tersenyum tipis, seperti masa lalu pikirnya. Ternyata mereka berhenti di sebuah bangunan yang tak jauh dari toko bunga Lili. Edgar melepas tangannya dari Lili, Edgar kemudian membuka pintu bangunan itu, Lili hanya termenung melihat Edgar. Setelah pintu terbuka Edgar mengajak Lili masuk ke dalam.
“Restoran?” gumam Lili.
“Ya, aku akan membukanya minggu depan dan restoran ini tak terlalu jauh dari toko bungamu itu,” Edgar mempersilahkan Lili untuk duduk.
“Aku tak paham apa maksud semua ini Edgar, kau? Membuka restoran dan tak jauh dari toko bungaku?” Lili duduk di sebuah kursi dan kini Edgar masuk ke dapur.
Lili menunggu sekitar sepuluh menit dan Edgar tak kunjung keluar, Lili kemudian cemas, pikirannya kemana-mana. Lili berpikir untuk beranjak dari tempat itu sekarang juga. Namun, ketika ia akan beranjak Edgar keluar membawa dua buah piring lengkap dengan makanan tersaji di atasnya. Edgar meletakkan piring-piring itu, ia juga melepas apron yang dikenakannya dan kini ia hanya mengenakan kemeja putihnya tanpa jas lagi.
“Selamat menikmati, ini yang hanya bisa aku persembahkan buat kamu.” Edgar meletakkan sebuah makanan yang siapapun melihatnya pasti akan tergoda untuk mencicipinya.
“Kapan kau memasaknya? Kau hanya sekitar sepuluh menit di dalam sana.” Lili terpukau sekaligus bingung.
“Ini cuma ku panaskan Li, aku takut kau pergi karena menungguku terlalu lama, kau paling tak suka menunggu bukan?” Edgar duduk di depan Lili dan bersiap-siap makan makannya dengan memegang garpu dan pisau di kedua tangannya.
“Apa maksud semua ini Edgar? Aku masih tak mengerti apa semua ini?” Nada Lili meninggi.
“Ssssssttt.. Makanlah dulu! Bicaranya nanti saja, please!” Edgar memandang Lili dalam-dalam.
“Aku ingin semua penjelasan sekarang! Jika tidak, aku tak mau makan titik,” kata Lili.  Kata Lili ketus, ia bahkan membuang mukanya.
Suasana menjadi hening, Edgar tahu bahwa ia tak akan pernah bisa menang dari seorang Lili, perempuan yang mengubah hidupnya. Kini Edgar meletakkan garpu dan pisau yang sebelumnya ia pegang.
“Baiklah, kau punya tiga pertanyaan dan aku akan menjawabnya. Pertanyaan apapun itu dan aku akan memberi jawaban terbaik yang aku bisa.”
Lili mengerutkan dahinya, ia berpikir Edgar pasti bercanda karena ia tahu seorang Edgar tak akan pernah bisa serius. Tapi ketika Lili memandang Edgar, ada yang berbeda dari seorang Edgar. Edgar yang ada dihadapannya bukanlah Edgar yang dulu selalu bercanda dan tak pernah bisa serius. Kini di raut mukanya hanya ada gurat-gurat keseriusan.
“Pikirkan dengan baik, karena dengan tiga pertanyaan yang akan kau ajukan padaku sekarang tak akan ada lagi pertanyaan-pertanyaan di masa depan.”
Baik Edgar maupun Lili kini sama-sama diam, Lili semakin bingung dan Edgar menanti pertanyaan dari Lili. Malam semakin dingin karena di luar hujan turun lagi.


To be continued....

You Might Also Like

0 comments