Hidup adalah Sebuah Ironi – I
Jadi
kemarin itu apa? Terlalu mengoyak, iya.
Aku terlalu berekspektasi lebih pada hubungan ini,
seharusnya aku tahu ketika dia hanya berkata, “aku ingin banyak teman”.
Seharusnya dari kalimat yang dia ucapkan itu aku tahu bahwa jangan pernah
berharap lebih, jangan pernah membawa perasaan terlalu jauh, karena dia tidak. Itu
saja.
Mulanya hanya karena sebuah pesan masuk, dia bertanya
di mana tempat yang ada di gambar profilku. Kujawab sekilas, ternyata dia juga menyukai
fotografi, awalnya kupikir begitu. Dia menunjukkan potretnya yang berjalan pada
sebuah jalan dengan latar belakang sebuah rumah unik yang indah. Sebuah potret
diri yang sederhana namun indah, komposisi yang pas, dan retouch yang tidak berlebihan. Aku menyukainya, maksudku menyukai
gambar itu. Hingga kita terlalu jauh dan berbicara banyak hal meski hanya
melalui sosial media, sesekali aku tertawa dengan lelucon-lelucon yang ia
lontarkan. Kadang aku yang bertanya kabarnya hari itu, atau dia yang sesekali
menanyakan keadaanku. Hingga kita memutuskan untuk bertemu untuk pertama
kalinya. Aku gugup, jujur aku gugup sekali dan bagaimana jika aku merusak hari
pertama kami. Dia mengajakku ke sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi
tapi sudah pernah kukunjungi. Aku menyanggupinya pada hari di mana aku sedang
tidak terlibat dengan urusan kampus.
Aku menjemputnya, entah suatu kebetulan atau tidak
kami sama-sama mengenakan pakaian yang senada, padahal kami tak pernah berkata
akan mengenakan pakaian warna apa. Awal yang canggung, tapi lambat laun kami
suka dengan topik yang selalu kami bicarakan, kecanggungan itu sirna dengan
perlahan. Sepanjang jalan kami berceloteh mengenai diri kami, dia lebih banyak
berbicara tentang dirinya. Kadang aku bertanya tentang dirinya karena aku lebih
membatasi diri untuk tidak berbicara banyak hal tentang diriku. Aku tak terlalu
suka bercerita mengenai diriku sendiri.
Hingga kami sampai pada tempat yang kami sepakati pada
sebelumnya, ia senang sekali. Senyumnya tak pernah habis, ia juga selalu
mengucap kagum pada tempat itu. Awalnya dia kupotret, dia bingung akan bergaya
seperti apa jika di tempat seperti itu. Aku hanya berkata, “terserah kamu saja,
nanti aku potret saat momen yang tepat, jangan kuatir karena gaya apapun pasti
akan bagus”. Dia mulai menemukan ritme yang tepat pada gayanya, aku selalu suka
senyumnya. Kemudian dia memotret dengan kamera sportnya. Tak henti-hentinya dia
kagum pada tempat itu. Kami bergantian, dia memotretku dan aku memotret dia
(lagi). Tak terasa hari sudah sore, ternyata ia ingat bahwa di sekitar tempat
itu terdapat spot melihat matahari terbenam. Karena aku belum pernah, aku jadi
ingin ke sana. Maka kami sepakat untuk melihat matahari terbenam di tempat
selanjutnya.
Kami sampai dan tempatnya sungguh indah, aku tak
bohong. Ternyata spot melihat terbenam ada di atas pohon, dan kami harus memanjat
dengan tangga yang sudah disediakan. Tempat melihat matahari terbenam di atas
pohon itu hanya untuk satu orang, dengan terpaksa kami bergantian untuk
menaikinya. Dia selalu membuat kejutan yang tak terduga, ia tak takut untuk
naik ke atas pohon hanya untuk melihat matahari terbenam. Aku memotretnya dari
bawah, wajahnya yang tersapu sinar matahari yang lambat laun berwarna jingga,
senyum tipisnya dan ketidaktakutannya ketika naik pohon memancarkan bagaimana
dirinya sesungguhnya. Dia puas, kami bergantian. Begitu hari sudah senja, kami
memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan pulang, kami sama-sama merasa
lapar. Jadi kami memutuskan untuk singgah sejenak di warung makan. Kami
berceloteh lagi entah kami mambahas apa waktu itu, karena sesuatu hal yang tak
penting bisa menjadi sebuah obrolan yang penting bagi kami.
Hari berganti, dia akan kembali ke tempat kelahirannya
untuk sementara. Aku hanya bisa berkata, “hati-hati, sampai bertemu lagi”. Saat
ia pulang kami tak putus komunikasi, tentu saja ada percakapan-percakapan
seperti biasanya, bahkan kami berencana ke tempat-tempat menakjubkan lainnya
sekembalinya ia dari rumahnya. Suatu ketika terlintas ide untuk menonton di
bioskop setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Ku tak dapat menyembunuyikan
rasa bahagiaku. Namun tiba-tiba saja semua berubah.
Semua hancur, tak kusangka bahwa menonton di bioskop
merupakan pertemuan akhir kami. Aku tak tahu apa yang salah denganku. Sewaktu
di dalam bioskop kami masih bersenda gurau, mengomentari hal apapun dan menjadikannya
topik obrolan kami. Film yang kami nonton bergenre komedi, tak henti-hentinya
kami tertawa dengan puluhan penonton lainnya. Kami pulang, aku pikir tak ada
yang aneh, semua seperti biasa. Kami masih berbalas pesan sore harinya. Entah,
hari berganti semua juga berubah, tak ada pesan-pesan itu lagi. Tak ada obrolan
yang kami ciptakan untuk membahas sesuatu. Semua jadi menghilang, pesan,
percakapan, dan dirinya. Dia mulai menunjukkan “kelelahan”, aku tak habis
pikir, kami masih berteman dan aku tak berpikir jauh ke depan. Tapi aku tak tahu
dia tiba-tiba “menghilang” bukan menghilang seperti itu, tapi menghilang dari
rutinitasku. Ia tak lagi membalas pesanku. Sampai di situ, titik.
Aku berpikir mendalam, mengapa dia pergi? Lama
berpikir dan aku tanyakan pada diriku sendiri, jawaban terbaik yang aku
dapatkan adalah: dia lelah, kau kacau, dan kalian hanya teman bermain. Lantas
aku merenung lagi, ya jawaban lain mengatakan bahwa ia terlalu sempurna dan
sesungguhnya aku tak sejajar dengan dia. Setidaknya aku mengenalkannya pada
sebuah tempat indah dan meskipun tak ia kenang sekalipun, aku yang akan
mengingatnya. Hal ini terlalu melankolia, lama sekali aku bangun dan percaya
pada semuanya (lagi). Dia terlalu lama menetap dan meninggalkan kepediahan yang
dalam. Meskipun aku berkata tidak berkali-kali namun pada akhirnya aku
mempercayai bahwa ini terjadi, sungguh-sungguh terjadi. Dia pergi dengan tawa,
aku tinggal dalam diam. Aku tak bisa marah lagi, dia begitu anggun untuk
mempermainkan adegan kejam yang memperlihatkan kebodohan dan
ketidakberdayaanku. Dia meninggalkan sesak meski dia sudah pergi dari sebuah
ruang nyaman kami. Dia pergi, tanpa pamit.
***
0 comments