(Review) The Girl on the Train

 From imdb.com
Salah satu hal yang saya sukai dari film thriller adalah twist ending yang unpredictable dan cara eksekusinya yang ciamik. Ada Gone Girl yang mengobrak-abrik nalar saya pada tahun 2015. Gone Girl menjadikan ekspektasi saya tinggi terhadap film thriller. David Fincher begitu cerdas meramu Gone Girl saya pikir. Dan kali ini saya menaruh ekspektasi yang sama untuk The Girl on the Train, dan hasilnya adalah film besutan dari Tate Taylor ini begitu rapuh, bolong, kurang bisa dinalar, dan mudah ditebak.
Saya salah menaruh harapan tinggi untuk film thriller ini, gara-gara Gone Girl ni, tapi tidak salah juga sih karena ternyata ada Emily Blunt yang membuat saya juga tak berpikir ulang untuk menaruh ekspektasi yang tinggi pada film ini. Kasihan Emily. Oke mari sedikit membahas film thriller yang diadaptasi dari novel karangan Paula Hawkins dengan judul yang sama. The Girl on the Train (TGOTT) bercerita tentang Rachel (Emily Blunt) yang setiap hari naik kereta, dia selalu melihat rumah yang sama tiap pagi dan sore hari saat pulang-pergi menaiki kereta. Rumah tersebut adalah rumah Megan (Hayley Bannet) dan suaminya (Luke Evans), Rachel melihat pernikahan yang ideal karena pernikahan Rachel gagal akibat Rachel tidak mampu untuk hamil dan terlalu sering mabuk. Suatu ketika Rachel melihat Megan mencium pria lain di balkon rumah dan hal itu membuat Rachel marah, pemikirannya tentang pernikahan ideal di benaknya hancur lebur. Keesokannya, Megan hilang dan Rachel takut terlibat dengan peristiwa tersebut, alasannya karena Rachel turun di stasiun dekat rumah Megan. Akibat terlalu mabuk, Rachel = tidak mengingat apa-apa dan bagaimana bisa tubuhnya penuh luka. 

  From imdb.com

  From imdb.com

  From imdb.com

TGOTT tidak ubahnya seperti kereta yang salah jalur. Banyak hal di luar nalar yang disuguhkan di film ini. Rachel adalah sosok wanita lebih dari 30 tahun namun seperti tak punya pemikiran dan posisinya sendiri, bagaimana tidak, sudah tahu dia dalam kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya, dia malah bermain dengan bahaya dan menjerumuskan dirinya sendiri dalam pusaran masalah. Di awal saya mulai bosan dan ngedumel sendiri, oh come on Rachel jangan lakukan itu! Banyak ruang kosong yang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Tate Taylor, ia melepas begitu saja momen-momen yang baik untuk dimasukkan dalam adegan. Film ini juga banyak diisi oleh monolog dari Emily, menceritakan bagaimana adegan demi adegan, itu yang membuat saya menguap terus. Dengan tidak adanya monolog dari Emily penonton cerdas bisa tahu ritme cerita yang disajikan, tapi sepertinya TGOTT mau memanjakan penontonnya dengan monolog tersebut yang justru saya anggap please don’t too much for monologue’s Emily!. Dan yang lebih menjengkelkan lagi tidak hanya dari monolog Emily, tapi juga dari tokoh-tokoh lain seperti Megan yang berbicara dengan nada menyebalkan sewaktu konsultasi dengan psikolog kesayangannya atau Anna (Rebecca Ferguson) dengan ketakutan-ketakutan pada pemikirannya sendiri. Hadirnya detektif (Allison Janney) yang menangani kasus hilangnya Megan juga tak membuat film ini lebih baik, kehadiran detektif wanita tersebut kurang greget, tak seperti detektif di Gone Girl yang cerdas (Ahh lagi-lagi saya membandingkan film ini dengan Gone Girl). Pembuat film ini tampaknya ingin menghadirkan curhatan-curhatan ketiga tokoh wanita (Rachel, Megan, dan Anna) melalui media mereka masing-masing dan saya pikir sepertinya ingin menyentuh palung hati penonton tapi kurang tersampaikan dengan baik. Pembuat film ini nampaknya lebih mementingkan pesan daripada ketegangan cerita yang menjadi esensi film thriller.
Saya suka akting para pemainnya meski beberapa ada yang dipaksakan. Emily pas untuk memerankan sosok Rachel yang alkoholik, rapuh, bodoh, dan suka menyeret-nyeret dirinya sendiri dalam masalah, Hayley yang memerankan Megan, sosok misterius dan sensual namun memendam ingatan masa lalu yang kelam, ada part di mana dia annoying banget dan itu yang justru buat saya tepuk tangan. Rebecca sudah menyatu dengan Anna, sosok yang selalu insecure, good mother, namun bodoh karena dia menipu dirinya sendiri, dan saya paling suka dengan akting Luke ketika memerankan suami Megan, adakalanya dia rapuh karena mengetahui Megan hilang, adakalanya dia jadi overprotective, adakalanya dia jahat, dan adakalanya dia jadi sosok yang bodoh. Jangan lupakan untuk sosok Tom (Justin Theroux –mantan suami Rachel dan sekarang suami Anna–) yang menjadi kunci film ini dan bagaimana kerennya dia ketika annoying, palsu, dan bad banget.
From impawards.com 

Menonton film ini seprti dipaksa untuk duduk di sebuah kereta yang kita tidak tahu arah dan tujuannya kemana. Potongan demi potongan cerita tidak disampaikan dengan baik. Justru seperti mendengar drama radio yang melelahkan, dan penonton tidak diajak untuk bersama-sama tegang dan berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada Megan di film ini. Bahkan pada bagian belum ending pun, rasanya sudah tertebak apa yang terjadi dengan Megan dan siapa yang terlibat. Sebagai penonton saya kurang terhibur, saya dipaksa untuk memahami pesan yang disampaikan pembuat film ini dan mecoba memahami kegalauan ketiga tokoh wanita yang ada di film ini. Saya menguap berkali-kali, tetapi saya masih memaksakan diri saya untuk menontonnya sampai akhir. Ahh lagi-lagi ini gara-gara Gone Girl yang membuat saya kepincut dengan genre thriller. Meskipun saya belum membaca novel TGOTT, saya berharap novelnya lebih baik ketimbang filmnya, mungkin di dalam novel intensitas ketegangan lebih terasa. Maybe.
Score: 6.5/10
~~~

You Might Also Like

0 comments