Waktu yang Tepat untuk.....


“Karena sepenuh diriku mencintai sepenuh dirimu
Kucinta lengkungan dan semua tepimu
Semua ketidaksempurnaanmu yang sempurna....
Berikanlah sepenuh dirimu padaku, kan kuberikan sepenuh diriku padamu
Kaulah akhir dan awalku, meski saat kalah pun aku menang
Karena kuberikan sepenuh diriku padamu, dan kau berikan sepenuh dirimu padaku....”
***

Sabtu petang, pukul 18.30, saat senja baru saja akan pergi dan digantikan langit malam

188 hari telah mereka lalui bersama sebagai sepasang kekasih. Mereka tak menyangka bahwa waktu berlalu begitu cepat. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, mungkin karena yang ada hanya tawa sehingga mereka lalui hari-hari tanpa kesedihan. Hidup hanya sekali, ketika kau sedih untuk satu menit dalam hidupmu kau akan kehilangan 60 detik kebahagiaan saat itu juga. 
Malam ini Sapta dan Aini akan pergi ke pusat kota karena di sana ada pasar malam. Hari yang mereka tunggu, pasar malam jarang ada di kota mereka. Bianglala, rumah hantu, dan segala sesuatu yang terdapat di pasar malam sudah mereka nantikan. Seperti biasa, Sapta menjemput Aini dengan sepedanya. Sesampainya di pusat kota, pasar malam sudah begitu ramai, banyak wahana, penjual makanan, dan panggung musik. Benar-benar ramai pasar malam yang ada di pusat kota. Sapta dan Aini mencoba seluruh wahana yang ada di pasar malam tersebut. 
Kini mereka ada di bianglala dan di titik tertinggi dari bianglala tersebut. Malam sungguh indah saat Sapta menggenggam tangan Aini dan berkata,
“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih sudah bersamaku 188 hari ini. Terima kasih karena kau mampu membuat hitamku terasa menjadi putih, saat aku butuh seseorang dengan sigap kau selalu ada. Terima kasih kau bagaikan fajar yang menantikan pagi ketika menungguku, percaya dengan sangat yakin bahwa aku pasti datang.” 
Aini menatap Sapta lekat-lekat, “Aku yang seharusnya mengucapkan itu semua, terima kasih memberiku sebuah kepercayaan, 6 bulan ini aku benar-benar merasa menjadi diriku sendiri dengan adanya dirimu di sampingku.” 
“Ingatkah kau pertama kali kita bicara berdua di toko buku, memandang dunia dari atas bukit, dan bernyanyi berdansa bersama. Aku akan mengingat itu semua dan akan kucatat dalam lembaran kisahku yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, bahwa inilah 188 hari terbaik dan terindah yang pernah aku rasakan.” Sapta sedikit menghela napas. 
“Kau bicara seperti itu seperti kau akan pergi jauh saja Ta. Tapi, terima kasih juga telah membukakan mataku tentang siapa sebenarnya Kak Arif itu, orang yang benar-benar brengsek.” Aini tertunduk.
Sapta tersenyum. 
Kemudian Sapta melepas genggamannya, ia membelai rambut Aini. perlahan ia mencium kening Aini dan berkata, “Aku benar-benar mencintaimu.”
“Aku juga.” Aini memejamkan matanya dan tersenyum. 
“Ayo kita ke atas bukit, aku ingin menunjukkan sesuatu.” Sapta berkata pelan
Aini mengangguk.
Mereka meninggalkan pasar malam yang ada di pusat kota. Sekarang mereka menuju atas bukit tepi kota. Malam benar-benar indah, cahaya bulan yang terang melingkupi dan bintang-bintang yang bercahaya. Mereka sampai di atas bukit. Aini sungguh terkejut, atas bukit benar-benar berbeda. Banyak lampion-lampion yang digantung di dahan pohon. Jalan menuju bangku terdapat lilin-lilin berwarna di sisi kanan dan sisi kiri. Sapta tersenyum dan berkata, “Aku meminta bantuan teman-temanku untuk ini.”
Kini mereka duduk di bangku atas bukit. Sapta mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah liontin.
“Ini semua aku persiapkan untukmu.” Kata Sapta sambil memasangkan liontin tersebut ke leher Aini.
Aini memegang liontin. “Ini sungguh indah, terimakasih.” 
“Kau harus benar-benar menjaganya, karena itu satu-satunya benda yang akan menjadi kenangan kita.”
“Kenangan? Maksudmu apa Ta?” Aini terperanjat.
“Malam ini hanya kau dan aku, mengenang semuanya. Aku tahu ini sulit, begitu juga aku yang akan menyampaikan hal ini.” Sapta mengusap wajahnya.
Lengang, yang ada hanya suara binatang-binatang malam di pohon atas bukit.
Sapta menghela napas panjang, “Aku tak pernah tau Tuhan mempertemukan kita untuk apa, begitu juga dengan Tuhan yang mengatur takdirku. Bisa saja pada akhirnya aku memang di sisimu atau aku harus pergi ketika sudah waktunya.”
“Ta, aku bingung kamu bicara apa. Pergi? Siapa yang pergi?” Aini kini terisak.
Sapta tertunduk, “Aku harus pergi besok, ayah dipindahtugaskan ke kota lain. Aku sudah mengatakan aku tidak mau untuk pindah. Tetapi ayah memaksa, aku ragu. Karena ini keputusan yang berat, aku tak mau jadi seseorang yang egois.”
Aini terisak semakin dalam, “Kamu gak mikirin aku Ta? Hubungan kita yang udah 6 bulan ini.”
Sapta memegang bahu Aini, “Jika kebahagiaan ini bukan milik kita. Berarti Tuhan sedang meminjamkannya untuk orang lain. Dan apakah kau tahu pelajaran tersulit di dunia ini?”
Aini tidak menjawab, ia menangis tersedu-sedu.
Sapta berkata pelan, “Ikhlas.”
Kini semua benar-benar membisu.
Hingga, Aini beranjak dari bangku dan berlari sambil menahan tangisnya. Sapta lalu mengejarnya. Sapta berhasil mengejar Aini, kini ia memeluk Aini dari belakang. Aini masih menangis tersedu-sedu. 
“Di bawah langit kota ini, aku berani bersumpah bahwa kau adalah hal terindah yang pernah ada di hidupku dan katakan pada embun pagi bahwa segala sesuatunya memang harus seperti ini. Aku pernah menjatuhkan setetes air mata di luasnya samudera. Jika aku bisa menemukannya lagi, maka disaat itulah aku berhenti mencintaimu.”
“Apa yang akan terjadi dengan cinta...apa yang akan terjadi dengan kita?” Aini masih menangis tersedu-sedu. 
Sapta memeluk Aini semakin erat, “Meskipun kau tak bersamaku, aku hanya berdoa yang terbaik untukmu. Meski doa itu menyebut seseorang agar bisa menggantikan kedudukanku di hatimu. Semua akan baik-baik saja.”
“Tidak, semua ini tidak akan baik-baik saja. Kau benar-benar jahat, menyiapkan ini semua hanya untuk kamuflase semata. Kau benar-benar pintar.” Aini berbalik dan memukuli dada Sapta. “Dan satu lagi, tidak akan ada orang lain yang dapat merubah kedudukanmu di hatiku.”
Sapta memeluk Aini, ia juga menahan tangis. Ia benar-benar tak habis pikir, ia dengan susah payah mendapatkan Aini, dan kini ia harus melepas dengan mudahnya. “Waktu terbaik yang kita miliki sudah berlalu, apapun yang terjadi pasti akan selalu berakhir dan jika sesuatu yang baik harus berakhir, percayalah bahwa yang lebih baik lagi akan dimulai.” Sapta membelai rambut Aini, menatap langit malam yang indah sambil menahan tangis. Ia tak mau menujukkan kerapuhannya pada Aini. 
“Aku benci keadaan ini, buat apa 6 bulan ini kamu ada di sampingku. Kamu...” Aini menahan kata-katanya.
Sapta menyahut, “Aku yang menjadi pemuja rahasiamu, aku yang menjadi teman bicaramu, aku yang menjadi sahabatmu, aku yang menjadi kekasihmu, aku yang menjadi malaikat penjagamu, itu aku selama 6 bulan ini. Dan sekarang aku yang akan menjadi kenanganmu.”
Aini semakin keras menangis. Sapta menyeka air mata Aini dan berkata, “Kau tahu bahwa pada setiap kisah harus ada yang berkorban, pada titik inilah kita sama-sama sedang berkorban dan semoga pengorbanan kita tidak akan pernah sia-sia.”
Malam ini semua indah, hanya saja kisah pada malam panjang harus berakhir pada sebuah keputusan yang memilukan. Ketika semua ingin bermuara pada kebahagiaan, kadang harus melalui seribu kesedihan terlebih dahulu. Butuh lebih dari sekedar kekuatan untuk membalikkan halaman dan membuka halaman selanjutnya agar kita sampai pada akhir cerita. 
Keesokannya Aini mengantar kepergian Sapta, ia sedang ada di rumah Sapta. Rumahnya sudah benar-benar kosong. Orang tua Sapta sudah berada di mobil yang mengantar kepindahan mereka. 
“Jadilah perempuan yang selalu tegar, mampu berdiri di atas kakinya sendiri dan mampu menghapus air matanya sendiri.” Kata Sapta sambil menggengam tangan Aini. 
Kini Sapta pergi, menyisakan kenangan yang telah mereka bangun selama 6 bulan ini. Aini belum beranjak dari rumah Sapta. Ia menangis untuk kesekian kalinya dan memegang liontin yang diberikan Sapta. 
***
5 tahun kemudian ketika semua sudah berubah
Aini sedang duduk di bangku atas bukit tepi kota, entah sudah berapa lama ia sudah duduk di sana. Senja kini datang dengan cepat, langit lembayung yang sungguh indah. Seorang laki-laki menghampiri Aini.
“Kau tahu, di tempat inilah aku merasa sangat damai. Benar-benar tempat yang sangat indah.” Kata Aini.
“Aku tahu, semua kenanganmu ada di tempat ini. Tetapi sekarang kita harus pulang, aku tak mau membuat ibu khawatir.” Kata laki-laki tersebut.
Aini beranjak, mereka pulang ditemani senja. Tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Aini berkata pada lelaki yang ada di sampingnya, “Kau pulang duluan saja, aku ingin berbicara sebentar dengan teman lamaku ini.”
Lelaki di samping Aini menuruti perkataan Aini, ia kemudian pulang.
“Kau datang begitu cepat. Aku menyuruhmu datang esok lusa, Ta.” Kata Aini pada lelaki tersebut. 
Sapta mengangguk pelan, “Jadi dia orangnya, orang yang kau ceritakan di setiap pesanmu. Sepertinya ia benar-benar mencintaimu.”
“Ya, dia Adi yang selalu kuceritakan padamu lewat pesan.” Aini tertunduk.
“Jika kau ragu, ikuti kata hatimu. Beri pertanyaan pada dirimu sendiri dan temukan sebuah jawaban. Belajarlah untuk mempercayai apa yang dikatakan hatimu.”
“Bahkan saat seperti ini kau masih bisa menasihatiku.”
“Bagaimana kabarmu?” Tanya Sapta sambil memeluk Aini.
“Kau teramat benar, aku belajar sabar dari sebuah kemarahan, aku belajar bersyukur dari sebuah kebahagiaan, aku belajar mengalah dari sebuah keegoisan, dan aku belajar tegar dari kehilangan.” Jawab Aini sambil melepas pelukan Sapta. 
Sapta mengernyitkan dahinya. 
“Aku belajar itu semua darimu, terima kasih.” Aini duduk kembali di bangku.
Sapta juga ikut duduk, “Apakah kau benar-benar yakin dengan semua ini? Apakah kau yakin dia pilihan hatimu?”
Aini menatap Sapta, “Kenapa? Apa kau sekarang sedang berusaha menggagalkan pernikahanku besok lusa?” 
“Kau sudah benar-benar dewasa sekarang.” Sapta tersenyum. 
Aini menyandarkan kepalanya di bahu Sapta, senja berganti menjadi malam. Perasaan menenangkan itu datang lagi. Tepat seperti 5 tahun lalu, saat semua masih baik-baik saja.
Keesokan harinya, Aini tergopoh-gopoh datang ke atas bukit, dia datang sendiri. Di sana sudah ada Sapta, dia duduk di depan sebuah piano berwarna putih. 
“Ada apa? Apa kau tahu ketika aku melihat pesanmu, jantungku rasanya mau keluar. Apa kau tidak tahu bahwa aku sedang sibuk mengurus pernikahanku besok?” Tanya Aini sambil mengatur napasnya. 
Sapta tersenyum, “Aku sudah memikirkan ini dari dulu, suatu hari saat kita menikah, aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu di pernikahan kita dengan konsep serba putih. Kau ada di ujung sana dan memandangku yang sedang di depan piano, bersiap untuk bernyanyi. Saat aku bernyanyi kau menghampiriku dan kita kan bernyanyi bersama. 
“Kau gila, Ta.” Aini kini duduk di bangku.
“Dengarkan lagu ini, dan bayangkan semuanya kan indah pada waktunya.” Sapta bersiap menekan tuts-tuts piano yang ada di depannya. Kini ia mulai dengan menekan tuts membentuk sebuah intro. Kemudian Sapta bernyanyi....
“What would I do without your smart mouth....Drawing me in, and you kicking me out....Got my head spinning, no kidding, I can’t pin you down....What’s going on in that beautiful mind....I’m on your magical mystery ride....And I’m so dizzy, don’t know what hit me, but I’ll be allright....”
“My head’s underwater....But I’m breathing fine....You’re crazy and I’m out of my mind....”
“Cause all of me....Loves all of you....Love your curves and all your edges....All your perfect imperfections....Give your all to me....I’ll give my all to you....You’re my end and my beginning....Even when I lose, I’m winning....Cause I give you all of me....And you give me all of you....”
Sapta sesekali melihat Aini. Aini membalas tatapan Sapta dengan tatapan kosong,  tiba-tiba ia beranjak dari bangku dan menghampiri Sapta. Sapta melanjutkan nyanyiannya,
“How many times do I have to tell you....Even when you're crying you're beautiful too....The world is beating you down, I'm around through every mood....You're my downfall, you're my muse....My worst distraction, my rhythm and blues....I can't stop singing, it's ringing, in my head for you....”
Aini melingkarkan tangannya di leher Sapta dari belakang, Sapta tetap melanjutkan nyanyiannya...
“My head’s underwater....But I’m breathing fine....You’re crazy and I’m out of my mind....”
“Cause all of me....Loves all of you....Love your curves and all your edges....All your perfect imperfections....Give your all to me....I’ll give my all to you....You’re my end and my beginning....Even when I lose, I’m winning....Cause I give you all of me....And you give me all of you....”  Sapta menekan tuts panjang, tanda lagu telah berakhir. 
Aini sudah menangis di punggung Sapta, ia meracau sendiri. “Tolong bawa aku pergi dari sini agar aku bisa bersamamu Ta, aku merindukanmu 5 tahun ini, yang ada di kepalaku hanya dirimu bukan siapa-siapa. Aku gak sanggup Ta, bawa aku pergi dari sini, culik aku. Masih ada 23 jam lagi sampai pernikahanku besok.”
“Aini..dengar...Aini...ini bukan tentang pilihan tetapi ini tentang sebuah takdir. Aku sudah pernah bilang bahwa waktu terbaik kita telah berlalu.” Sapta berbalik dan memeluk Aini.
“Aku ingin mengembalikan semuanya seperti sedia kala, waktu dan kamu. Tolong Ta, bantu aku...” Tangis Aini semakin keras. 
“Aku hanya ingin kedewasaanmu Aini, karena di sisi lain ada seorang laki-laki yang sedang menunggumu, mencintaimu lebih dari yang aku lakukan 5 tahun lalu. Maafkan aku, aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi dia...dia akan menerima seluruh hidupmu tanpa syarat.” Sapta membelai rambut Aini. 
Aini menyeka air matanya, ia masih terisak. “Bagaimana perasaanmu padaku sekarang, 5 tahun ini apakah kau berubah atau kau...?”
“5 tahun lalu saat aku akan pergi aku berkata padamu bahwa aku pernah menjatuhkan setetes air mata di luasnya samudera. Jika aku bisa menemukannya lagi, maka disaat itulah aku berhenti mencintaimu.” Sapta membantu menyeka air mata Aini.
Aini beranjak, “Kau tahu 5 tahun ini aku belajar untuk tetap tegar karena kehilanganmu, 6 bulan terindah yang pernah ada di hidupku.”
Sapta juga beranjak, “Selain ikhlas, penerimaan juga merupakan pelajaran tersulit yang harus aku lakukan. Temukan kebahagiaanmu, hapus air matamu. Hidup tidak bisa ditebak, kadang apa yang kita rencanakan tak sesuai dengan kenyataan. Kisah kita tak akan pernah berakhir.”
Hari ini pernikahan Aini, ia sungguh cantik. Gaun pengantin yang indah. Sapta datang, tapi ia hanya melihat dari jauh. Ia beranjak untuk pergi dari sana meskipun acara belum selesai. Ia ke atas bukit tepi kota, tempat ternyaman yang ia rasakan. Ia menatap langit biru yang cerah. Menggenggam liontin yang ia lepas dari leher Aini tanpa sepengetahuan Aini kemarin. Ia merasa benda tersebut yang mengikat segalanya. Sapta menatap liontin tersebut, ia tak dapat lagi membendung air matanya untuk keluar. Inti dari semua ini adalah waktu, waktu yang akan mengatakan segalanya. Ini adalah waktu yang tepat untuk berpisah, waktu yang tepat untuk ikhlas, dan waktu yang tepat untuk sebuah penerimaan. 
Sapta masih menangis sambil menggengam liontin dan ia bergumam pelan, “Tuhan, mengapa urusan hati bisa serumit ini.”


end


*Cerita ini merupakan babak terakhir dari cerpen "Something Only We Know" baca di sini dan "Ini Tentang Kita di Lembar Kedua Kisah Cinta" baca di sini.
*Cerita ini masih untuk sahabat saya Nooraini Kiasatina!!
*Terima kasih lagu All of Me dari John Legend yang khusus dipilih oleh Nooraini Kiasatina yang menjadi inspirasi kisah ini.

You Might Also Like

0 comments