Ini Tentang Kita di Lembar Kedua Kisah Cinta
“Bukan aku yang memilih kamu, tetapi hati aku! Hati kecilku yang selalu menyuruhku untuk tetap menatapmu!”
“Jangan pernah bertanya jika kau sudah tahu jawabannya
dan jawaban itu hanya akan melukaimu.”
***
Sabtu, pukul 5:43 pagi.
Selamat pagi
Aini tak pernah seyakin ini dalam
mengambil suatu keputusan. Ia sangat bersemangat hari ini. Setelah mengambil
keberanian untuk berpisah dari Arif, kekasihnya. Pagi yang indah, mentari
benar-benar muncul setelah seharian kemarin hujan lebat dari pagi hingga malam.
Musim hujan datang lebih awal dari tahun-tahun sebelumnya. Aini segera bangkit
dari tempat tidurnya dan bergegas untuk mandi. Ia ada janji dengan Sapta. Entah
ini rasa cinta atau tidak, yang pasti Aini sangat nyaman saat bersama Sapta.
Hari ini mereka akan pergi berdua, menghabiskan seharian ini bersama.
Sesaat kemudian Sapta menjemput Aini
dengan sepedanya, ya sepeda itu adalah saksi peristiwa di mana Sapta mengantar
pulang Aini saat hari jadi kota. Sapta kali ini mengenakan kaus berwarna biru,
celana jeans, jam tangan warna hitam, dan sepatu converse nya.
Sedangkan Aini mengenakan kaus warna putih dipadu dengan rok bermotif bunga
dibawah lutut, flat shoes, dan tak lupa membawa tas selempang.
Tanpa sadar Sapta mengucapkan sesuatu,
“Cantik.”
“Terima kasih.” jawab Aini.
“Sudah siap menjelajah kota hari ini
tuan putri?” Tanya Sapta.
Aini hanya mengangguk. Kemudian mereka
segera pergi setelah pamit pada orang tua Aini. Sepanjang perjalanan mereka
berdua hanya diam, yang ada hanya lengang.
Kemudian Sapta yang membuka percakapan.
“Untung saja hari ini tidak hujan.”
“Iya, jika hujan kau hanya akan kusuruh
duduk diam di rumahku dan mendengar celoteh-celoteh orang tuaku yang tak akan
pernah ada habisnya.” Jawab Aini.
Sapta tertawa, “Tak apa, jika hanya itu
yang harus aku lakukan untuk mengambil hati orang tuamu.”
Aini mencubit perut Sapta, “Kau pandai
melihat suasana.”
“Mengapa kau ingin kita pergi ke atas
bukit yang ada di tepi kota?” Tanya Sapta sambil memberhentikan sepedanya, ia
mengusap peluh di dahinya.
“Ingin saja, sudah lama aku tak ke sana.
Pemandangannya sangat indah. Seluruh kota akan terlihat dari sana.” Aini
melingkarkan tangannya ke perut Sapta. Tanda agar Sapta kembali mengayuh
sepedanya.
Aini ingin cepat sampai, pikir Sapta.
Sapta mempercepat kayuhannya. Kota mereka memang kecil, setelah cukup lama
mengayuh sepeda dan beberapa kali juga berhenti karena lelah mereka sampai di
atas bukit tepi kota.
Sapta meletakkan sepedanya bersandar
pada sebuah pohon. Kemudian mereka duduk di sebuah bangku di atas bukit. Aini
benar, seluruh kota dapat terlihat dari atas bukit. Rumah Aini, pusat kota,
toko buku di mana Sapta bekerja dapat terlihat. Matahari juga sedang bersinar
amat terik.
“Dulu orang tuaku sering membawaku
kemari, kami biasanya bersama-sama memandang matahari terbenam atau matahari
terbit.” Aini membuka percakapan.
Sapta tidak menjawab, ia mengusap peluh
di dahinya. Ia sangat lelah karena dirinya masih mengatur napas yang tak
beraturan. Aini menyodorkan air mineral yang ia keluarkan dari tasnya. Kemudian
Sapta tersenyum dan menerima air mineral tersebut, ia cepat-cepat meminumnya.
Tiba-tiba saja Aini meletakkan kepalanya di bahu Sapta.
“Biarkan seperti ini sebentar saja.”
Kata Aini sambil memejamkan mata.
“Kau boleh berlama-lama meminjam bahuku.
Ini memang kusediakan untukmu jika sewaktu-waktu kau membutuhkannya.” Canda
Sapta, masih dengan mengatur napasnya.
“Jangan mulai deh..” Teriak Aini,
kemudian ia tersenyum kecil.
Sapta bergumam. “Pasti akan lebih indah jika semua
dilihat dari sini pada malam hari.”
“Untuk kencan selanjutnya kau harus
membawaku kemari pada malam hari.” Kata Aini setengah berbisik.
“Jadi ini kencan?” Teriak Sapta dengan
girang.
“Sssssttt....bisa dibilang seperti itu.”
“Apakah Arif sudah kau bawa kemari
sebelumnya?” Tanya Sapta dengan tertunduk lesu.
Aini menggeleng, “Ia tidak pernah mau
jika di ajak kemari.”
Sapta tersenyum kecil, sebuah tanda
kemenangan. Mereka berdua menghabiskan waktu cukup lama dengan membicarakan
banyak hal. Masih di posisi yang sama. Bukit, sebuah bangku, dan kepala Aini
yang masih bersandar di bahu Sapta. Hingga tiba-tiba cuaca berubah, cahaya
matahari kini digantikan oleh mendung yang datang berarakan. Cuaca mudah sekali
berubah.
Mereka beranjak dari sana dan memutuskan
untuk pulang karena hujan akan segera datang. Sapta mempercepat kayuhannya, ia
tak ingin mereka kehujanan. Tapi, ketika mereka baru sampai di pusat kota,
hujan datang dengan sangat lebat. Mereka memutuskan untuk berteduh di sebuah
kafe dekat pusat kota. Sembari menunggu hujan reda, segelas cokelat panas bisa
menghangatkan badan, pikir mereka berdua.
Sungguh celaka, sesaat setelah memesan
dua cokelat panas, Arif datang bersama gerombolannya. Aini dan Sapta terlambat
menyadari ketika Arif menghampiri mereka.
“Hebat....hebat....jadi cowok kutu buku
ini yang berani merebutmu dariku!!” Teriak Arif ketus membuat semua mata yang
ada di kafe tersebut menatap mereka sambil berbisik.
Aini terkejut, “Kak Arif...!!”
“Aku kira dia cowok yang lebih dariku,
ternyata hanya cowok sampah!!! Apa mungkin karena dia juga kamu berani memutus
hubungan kita!! Jawab Aini!! Jawab hah..!!” Arif mencengkeram tangan Aini.
“Lepaskan tangan Aini, Rif!!” Perintah
Sapta.
“Jangan ikut campur bangsat!!! Ini semua
gara-gara lo, bangsat!!” Kemudian Arif meninju wajah Sapta, sesaat Sapta jatuh
ke lantai kafe sambil memegangi wajahnya. Aini berteriak dan beranjak dari
tempat duduknya.
“Hentikan....stop....!!” Teriak Aini.
Arif memegang kaus Sapta kemudian
menyeretnya ke luar kafe, diikuti Aini dan teman-teman Arif sekitar 4 orang. Di
luar kafe, pertikaian mereka semakin brutal, Sapta dikeroyok oleh gerombolan
Arif, dua orang memegangi Sapta dan lainnya meninju wajah, menendang kaki
hingga memukul perut Sapta, Arif memegangi Aini yang hanya menangis dan
meronta-ronta sambil berteriak, “Stop!!! Hentikan!!”
“Stop!! Stop..!! Berhenti dulu, karena
gue akan kasih dia pertunjukkan yang menakjubkan.” Kata Arif sambil memegangi
Aini.
Hujan semakin lebat, mereka semua basah
kuyup. Sapta berdarah, darahnya menggenang bercampur bersama air hujan, ia
masih dipegangi oleh gerombolan Arif. Wajahnya sudah babak belur, tangannya
sulit untuk digerakkan, matanya berkunang-kunang, di sayup-sayup matanya yang
sulit untuk membuka ia melihat semua itu, Arif mencium Aini tepat di depan
matanya. Terdengar suara guntur seiring dengan badan dan hatinya yang terluka.
Kenyataan yang begitu pahit, hingga kemudian Aini ditarik Arif pergi entah
kemana, diikuti teman-teman Arif, mereka meninggalkan Sapta begitu saja.
Sapta mengumpulkan sisa tenaga yang
masih ia miliki untuk mengambil sepedanya dan ia berharap segera sampai di
rumahnya. Pandangannya menjadi kabur, ia menyeka wajahnya yang terkena air
hujan, darahnya banyak sekali. Ia lemas dan masih harus menuntun sepedanya
hingga rumah, tangannya menjadi kaku, pandangannya benar-benar.....ia sudah tak
sanggup, kemudian ia.....pingsan.
***
Sapta membuka matanya, ia sudah berada
di kamarnya. Dirinya tak tahu telahberapa lama pingsan, seluruh badannya terasa
kaku dan remuk. Ia melihat handphone nya, 23 kali panggilan tak terjawab
dari Aini, dan 15 pesan juga dari Aini. Setelah membukanya, semua pesan Aini
menanyakan bagaimana keadaan Sapta.
Sapta bergumam memandang handphonenya,
“Badanku sakit, tapi hatiku lebih sakit melihatmu berciuman dengannya tepat di
depan mataku.”
Berhari-hari kemudian, Aini masih
mencoba menghubungi Sapta lewat handphone karena Aini tak tahu rumah
Sapta. Aini terus berusaha meminta maaf dan menanyakan keadaan Sapta, namun
Sapta tidak menghiraukan Aini. Sapta sudah merasa baikan, luka memarnya juga
tak separah hari-hari yang lalu. Sapta terpaksa harus tidak masuk kuliah.
Ketika Sapta benar-benar sudah merasa baik, ia pergi ke atas bukit tepi kota.
Ia merasa di sana adalah tempat ternyaman yang bisa ia kunjungi. Ia duduk di
bangku, memandang seluruh kota yang terlihat, hari ini sedikit mendung.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara seseorang.
“Suatu kebetulan atau memang takdir,
ketika hatiku ingin kemari kau ternyata ada di sini.” Aini sudah berdiri di
samping bangku.
“Memang aneh, ketika aku memikirkan
tempat ternyaman, tempat ini yang pertama kali muncul di benakku.” Kata Sapta.
“Kau sudah merasa baikan?” Tanya Aini
yang kemudian duduk di samping Sapta.
Sapta bergeser sedikit dari posisi duduknya, “Kau tahu,
bukan aku yang memilihmu, tetapi hati aku! Hati kecilku yang selalu menyuruhku
untuk tetap menatapmu!”
Aini sedikit terkejut dan kemudian ia
terisak.
“Mungkin bukan kamu, bukan siapa-siapa,
namun hanya ada aku! Aku yang peduli terhadap diriku sendiri....!!! Mungkin aku
terlalu bodoh mau saja cepat percaya denganmu!!” Sapta sedikit berteriak.
“Jika ini soal Kak Arif yang menciumku,
aku tidak tahu apa-apa. Aku berani bersumpah....” Kata Aini yang semakin
terisak. Kemudian ia menghadap Sapta dan bertanya, “Kau marah atau cemburu?”
Sapta beranjak dari bangku tersebut dan
berkata, “Jangan pernah bertanya jika kau sudah tahu jawabannya dan jawaban itu
hanya akan melukaimu.” Kemudian Sapta pergi meninggalkan Aini yang menangis
semakin terisak.
Hari berlalu dengan cepat, mereka
benar-benar tak pernah saling bicara dan bertegur sapa. Sapta seperti
menghindar jika Aini akan menghampirinya. Mereka berpikiran dengan mendiamkan
hal ini, semuanya akan baik-baik saja. Pada kenyatannya tidak, seperti hujan
yang tak akan pernah kembali ke langit jika sudah jatuh ke tanah.
Sebulan berlalu, saat itu Sapta sedang
berada di kamarnya yang ada di lantai dua, menghadap langit-langit kamar, ia
berpikir tentang Aini. Ia sungguh mencintai Aini, ia berpikiran dirinya terlalu
pengecut menghindar dari semuanya dan membiarkan masalah ini berlarut-larut. Ia
bergegas untuk segera ke rumah Aini. Namun, kcetika ia sedang ganti baju ia
mendengar sayup-sayup suara dari arah depan rumahnya. Kemudian ia membuka
jendela kamarnya.
“Saptaaaaaa....aku mohon maafin aku,
mungkin ini semua gila, tapi mereka semua datang untuk mendukungku.” Kata Aini
yang sudah membawa sebuah gitar di tangannya. Ia tak sendiri, ada beberapa
orang yang masing-masing memegang alat musik lainnya, cello, biola, gitar,
bass, piano, bahkan ada drum juga, benar-benar lengkap.
“Mereka band universitas yang
membantuku, aku hanya ingin kamu dengar ini. Dan jika kamu mau maafin aku,
turunlah dan ikut bernyanyi bersamaku!!” Kata Aini.
Aini mulai memetik gitar dan bernyanyi,
band juga siap dengan posisi masing-masing, ketika intro lagu dimainkan, Sapta
tahu lagu ini.
“I’ve always been the kind
of girl....that hide my face....so afraid to tell the world....what I’ve got to
say....but I have this dream....right inside of me....I’m gonna let it
show....it’s time to let you know....to let you know....”
Aini sesekali melihat Sapta di kamarnya,
Sapta membalas melihat Aini dengan tatapan yang sulit dimengerti oleh Aini.
Namun, Aini tetap melanjutkan nyanyiannya.
“This
is real....this is me....I’m exactly where I’m supposed to be now....gonna let
the light....shine on me....now I’ve found who I am....there’s no way to hold
it in....no more hiding who I wanna be....this is me....”
Aini melihat ke arah Sapta, namun Sapta
tak lagi berdiri di belakang jendela kemarnya, Aini bingung. Ia ingin
menghentikan musik ketika secara bersamaan Sapta keluar dari rumahnya dan
memegang sebuah gitar dan Sapta bernyanyi, “You’re
the voice I hear inside my head....the reason that I’m singing....I need to
find you, I gotta find you....You’re the missing piece I need the song inside
of me....I need to find you, I gotta find you...”
Mereka berdua tersenyum dan kembali
bernyanyi, kali ini mereka bernyanyi bersama. “This is real....this is me....I’m exactly where I’m supposed to be
now....gonna let the light....shine on me....now I’ve found who I am....there’s
no way to hold it in....no more hiding who I wanna be....this is me....this is
me....”
Musik berhenti, seketika Sapta dan Aini
secara bersamaan meletakkan gitar dan kemudian mereka berpelukan, berpelukan
sangat lama. Sapta tiba-tiba mencium kening Aini.
Aini bergumam, “Aku minta maaf, semua
ini salahku..”
“Tidak, seharusnya aku yang minta maaf,
aku terlalu pengecut. Aku mencintaimu.” Kata Sapta sambil menggengam tangan
Aini.
Aini menarik napas dan berkata dengan
yakin, “Aku tahu ini klise, tapi sebulan ini rasanya aku yakin terhadap hatiku.
Kau adalah orang yang pertama kali kuingat saat aku akan tidur, saat aku bangun
tidur, saat aku senang, maupun saat aku sedih. Aku seribu kali lebih
mencintaimu.”
“Apakah ini sebuah rayuan?” Canda Sapta.
Aini mencubit perut Sapta. Kemudian Sapta menghampiri
band, “Terima kasih banyak teman-teman, tapi kali ini aku yang akan meminta
sebuah lagu.” Kemudian Sapta berbisik pada salah seorang anggota band.
Aini memunculkan ekspresi bingung di
wajahnya, tiba-tiba band memainkan sebuah lagu, Aini tahu lagu ini. Ini lagu
Can I Have This Dance, original soundtrack film High School Musical.
Sapta berjalan ke arah Aini dan
membungkuk, “Mau berdansa denganku tuan putri?”
Aini hanya mengangguk.
Cinta itu sederhana, Kau hanya perlu
tahu apakah ia percaya padamu, mendengar setiap perkataanmu, dan membuatmu
selalu tersenyum.
***
*Cerita ini merupakan sekuel dari cerpen “Something Only
We Know”
*Cerita ini masih untuk sahabat saya Nooraini Kiasatina!!
*Terima kasih lagu This Is Me dari Demi Lovato yang
menjadi inspirasi kisah ini.
*Penasaran dengan kelanjutan Aini dan Sapta? Nantikan
sekuel kedua dan akan menjadi part terakhir!! Coming soon!!
0 comments