The Best Man
Photo taken from id.gofreedownload.net
“Kau tahu, segala sesuatu yang terjadi adalah jalan yang harus kita lewati. Dunia terus berputar, kita ada untuk berjalan di dunia yang berputar itu, ketika waktumu habis, kau akan berhenti dan melangkah ke perjalanan lain.”
***
Tiba-tiba seseorang sudah berada di pintu kamar lelaki itu, “Ta, sekarang sudah waktunya kita berangkat.”
“Sebentar Bu, aku harus mencari jas hitamku terlebih dahulu.” Kata lelaki itu sambil membuka lemari pakaiannya.
Ibu menghela napas dan berkata, “kalau begitu Ibu tunggu di bawah ya Sapta.”
Sapta mengeluarkan mobil dari garasi setelah 10 menit ia bersiap-siap dan menemukan jas hitamnya. Mereka berdua akan pergi jauh, kembali ke rumah mereka dulu, rumah yang mereka tinggali berpuluh-puluh tahun. Mereka akan ke tempat di mana kenangan-kenangan tersimpan, kali ini mereka kembali untuk seseorang yang sudah sejak lama tersimpan di hati mereka.
Sesampainya mereka di kota mereka dulu Sapta bertanya pada ibunya, “bagaimana penampilanku Bu?”
“Kau masih sama seperti yang dulu, satu-satunya anak Ibu yang terhebat.” Ibu merapikan dasi yang dipakai Sapta.
“Aku bahkan tak tega melihat dia bersedih Bu, bagaimana aku bisa menghiburnya, kupikir dia tak akan mau melihatku lagi.” Sapta menatap mata Ibu lekat-lekat.
Ibu sedikit tersenyum dan berkata pelan, “dia tetap perempuan yang kau cintai 10 tahun ini, jika dia tak mau melihatmu kita segera pulang, begitu yang kita bicarakan semalam.”
“Baiklah, ayo Bu! Selesaikan ini dengan cepat.” Sapta mengangguk dan keluar dari mobil.
Sapta salah, ketika ia pikir dapat menyelesaikannya dengan cepat sekarang ia justru terhanyut dengan perasaan yang telah ia coba kubur 10 tahun ini. Kini ia melihat perempuan yang membuat dunianya terbalik, ia melihat perempuan itu dari kejauhan. Tiba-tiba saja perasaan itu datang, perasaan saat pertama kali ia melihat sesosok perempuan yang ia cintai. Perasaan yang membuat ia mengingat kejadian 12 tahun lalu.
12 tahun yang lalu, sebuah universitas.
“Hei mahasiswa baru, cepetan! Lambat banget, kalian bukan anak siput kan!!” teriak seseorang.
Tiba-tiba dari kejauhan ada seorang mahasiswa baru yang berkata, “Kak, ada yang pingsan....tolong!”
“Woooii manja banget, baru gini aja pingsan. Mar lo urus deh itu yang pingsan!” kata orang itu.
“Kok gue sih Rif?” Tanya Amar.
“Terus siapa? Nenek gue? Ya lo lah!” Teriak orang yang bernama Arif tersebut.
Amar beranjak dan mendatangi mahasiswa baru yang pingsan. Sementara itu, Arif yang sedang asyik duduk tiba-tiba didatangi seorang mahasiswa baru.
Mahasiswa baru itu berkata, “Jadi ketua ospek kerjaannya nyuruh-nyuruh doang? Bukankah ketua ospek yang baik itu gak cuma nyuruh-nyuruh aja. Bagaimana kalau teman saya kenapa-kenapa, hanya karena dia tidak cepat ditolong. Rasa empati kakak di mana?”
“Lo siapa? Berani-beraninya lo ngomong gitu sama senior!!” Arif beranjak dari tempat duduknya dan ia berkacak pinggang.
“Saya Aini, dari jurusan psikologi.” Kata Aini dengan menyeka peluhnya.
“Berani juga lo, sekarang lo lari keliling lapangan tujuh kali!!” Arif berteriak.
Pada saat itu juga Sapta mendengar Arif membentak Aini, ia sudah lama memerhatikan kejadian mahasiswa pingsan tadi karena kejadian itu tak jauh dari tempat di mana sekarang ia berada.
“Tapi Kak, Kakak udah bersikap ga sepantasnya jadi seorang ketua ospek. Kakak malah nyuruh orang lain.” Kata Aini tidak terima.
“Suka-suka gue lah... Lo ngomong sekali lagi, hukuman lo jadi gue tambahin tiga kali putaran. Sepuluh putaran lari keliling lapangan!!” Arif tambah geram dengan perkataan Aini.
Aini kesal, dari pembicaraannya dengan Arif ia tahu bahwa Arif adalah orang yang egois dan keras kepala. Ia tak mau semua orang semakin melihat dirinya dipermalukan. Alhasil dia lari keliling lapangan dengan kesal, ia kecewa dengan dirinya sendiri yang kalah dengan keadaan. “Gini ni yang bikin ospek jadi jelek di mata mahasiswa baru,” pikir Aini.
Aini terus berlari mengelilingi lapangan. Dari kejauhan, Sapta memandang sesosok perempuan yang tangguh. Detik itu juga ia tahu bahwa ia menyukai perempuan itu.
Sepulang dari ospek, Sapta menunggu bus di halte depan kampus. Tak jauh dari dia berdiri, ia melihat Aini dan teman-teman yang juga sedang menunggu bus. Teman-teman Aini naik bus yang baru saja datang, Sapta masih memandangi Aini yang kini sendirian menunggu bus, Sapta seharusnya naik bus yang sama dengan teman-teman Aini, tapi ia tidak naik. Ia ingin lebih dekat dengan Aini, barangkali bisa berkenalan pikirnya. Ketika Sapta akan mendekati Aini, bus datang lagi, kali ini Aini naik. Tanpa pikir panjang, Sapta juga naik bus tersebut.
Aini duduk di salah satu kursi penumpang, bus begitu lengang tidak banyak penumpang kala itu. Sapta duduk di kursi penumpang tepat di belakang tempat duduk Aini. Sapta dapat melihat Aini dari pantulan kaca bus. Cantik, pikir Sapta. Tiba-tiba saja kepala Aini terbentur kaca, ternyata Aini tertidur karena mungkin saja Aini kelelahan. Dengan sigap Sapta menjulurkan tangannya, ia jadikan tangannya sebagai alas kepala Aini agar Aini tak lagi terbentur kaca. Sapta tersenyum, hingga kemudian sopir bus berteriak bahwa mereka akan sampai di halte pemberhentian bus selanjutnya. Aini terbangun, dengan cepat Sapta menarik tangannya. Aini beranjak dari tempat duduknya dan bergegas untuk keluar.
Aini berada di luar bus, bus berangkat lagi. Sesaat Aini berbalik dan menatap bus yang baru saja ia naiki. Dan hal itu terjadi begitu saja. Mata mereka bertemu, Sapta terkejut dan terlihat salah tingkah. Hingga Aini pun tersenyum.
Sapta tak akan melupakan senyum itu, senyum 12 tahun yang lalu di perjalanan pulang mereka. Kini, Sapta hanya melihat sesosok perempuan yang kehilangan senyum indahnya. Ia mendapati sesosok perempuan yang menangis, menangisi sebuah gundukan tanah yang masih banyak terdapat bunga mawar di atasnya. Ya, hari itu Sapta menghadiri pemakaman Adi, suami Aini.
Aini masih berdiri di depan makam Adi. Ia menangis, menangis tersedu-sedu. Orang-orang sudah pulang sejak tadi, hanya ada beberapa orang di sana. Sapta mengenali mereka sebagai ayah dan ibu Aini, lainnya ia tak tahu, mungkin saja kerabat Aini dan Adi. Sapta menghampiri Aini yang sedang sendirian menatap poto Adi. Sapta menggenggam tangan Aini. Aini terperanjat dan mendapati Sapta sudah berdiri di sampingnya. Tangisnya semakin pecah, kini Aini menangis di pelukan Sapta.
“Ia pergi Ta, ia pergi.” Aini masih menangis dengan keras dalam pelukan Sapta.
“Aku tahu, aku tahu.” Kata Sapta menenangkan Aini.
“Kenapa semua orang ninggalin aku, aku salah apa?” Kini Aini menyeka air matanya.
“Kau tidak salah, semuanya sudah takdir.” Sapta masih menengkan Aini.
“Aku benci perpisahan Ta,” tangis Aini kini terdengar sudah mereda.
Datanglah bila engkau menangis, ceritakan semua yang engkau mau
Percaya padaku, aku lelakimu
Mungkin pelukku tak sehangat senja, ucapku tak menghapus air mata
Tapi ku di sini sebagai lelakimu
Aku lah yang tetap memelukmu erat, saat kau berpikir mungkin kan berpaling
Aku lah yang nanti menenangkan badai, agar tetap tegar kau berjalan nanti
“Kau tahu, segala sesuatu yang terjadi adalah jalan yang harus kita lewati. Dunia terus berputar, kita ada untuk berjalan di dunia yang berputar itu, ketika waktumu habis, kau akan berhenti dan melangkah ke perjalanan lain. Kau di sini harus tetap berjalan, dan Adi sudah memulai perjalanan lainnya. Ia akan menunggumu di sana. Aku yakin itu Aini,” Sapta melepas pelukannya, ia menatap Aini dengan lekat.
Aini menghapus air matanya, ia pergi meninggalkan Sapta, sesaat kemudian ia menggandeng sesosok anak laki-laki yang memiliki mata Adi, paras wajah Adi, dan cara berjalan sama persis dengan Adi.
“Dia matahariku Ta, dia yang mampu membuat aku bertahan. Namanya Bian. Umurnya 5 tahun, dia malaikatku.” Aini berlutut kemudian ia mencium kening Bian.
Sapta maju dan ikut berlutut, “halo jagoan, siapa namamu? Perkenalkan, nama Om adalah Sapta.” Sapta mengusap-usap kepala Bian yang berambut ikal, sama seperti Adi.
“Namaku Bian Om Ta,” Bian tersenyum.
Sapta mengingatnya, senyum 12 tahun yang lalu itu hadir kembali. Aini mewariskan sebuah senyum yang indah pada Bian. Hanya sebuah senyuman yang mampu menggetarkan hati Sapta kembali. Sapta memeluk Bian dengan erat, ia tahu, semesta pun tahu, bahwa mulai sekarang ia harus menjaga Aini dan Bian. Tanpa dugaan apapun, tanpa konsekuensi apapun, sekarang hingga nanti.
end
*Aini dan Sapta comeback!! Sebenarnya cerita ini udah selesai, atas permintaan Noor Aini Kiasatina cerpen ini terlahir kembali (This is a gift for your pendadaran’s day! Enz....!!). Mau tidak mau, saya harus menggodok ide cerita yang hanya sekelabat kadang-kadang muncul.
*Terima kasih Virzha dengan Aku lelakimu-nya! Perfect song!
*Mudah-mudahan Aini dan Sapta kembali lagi! Dengan Bian tentunya!!
0 comments