THE PAST IS IN THE PAST
Saat menulis ini aku ditemani segelas cokelat hangat,
butuh pikiran yang relaks dan mood dalam
keadaan yang baik. Butuh keberanian yang ekstra untuk mengungkap bagaimana
setelah satu tahun kemarin aku harus mengalami proses recovery. Proses yang sebenarnya tak pernah aku duga aku akan
mengalaminya. Aku harus bahagia, kataku. Perkataan-perkataan semacam itulah
yang aku katakan pada diriku sendiri akhir-akhir ini. ada ribuan pertautan diri
sendiri yang membuatku sempat menutup diri dari dunia luar. Aku masih berpikir
aku kuat, tapi ternyata tidak. Bagaimana mereka membuat efek bom waktu yang
luar biasa hebatnya di diriku. Mungkin mereka tak akan sadar, tapi di sini
hanya ada aku dengan diriku yang terluka sungguh hebat. Sial.
Untuk sekarang mereka menemukan kebahagiaan mereka
sendiri, pernah aku akan mengirimi mereka sebuah pesan, selamat untuk
kebahagiaan kalian, tapi aku mengurungkan hal tersebut. Untuk apa? Tak ada
gunanya, kata separuh pikiranku. Aku malu, untuk apa aku menangis waktu itu
jika keadaannya justru semakin memburuk. Aku iri pada mereka yang tetap utuh
hingga akhir bahkan sampai sekarang. What’s
wrong with me? Apa ini mimpi buruk, aku berlebihan. Aku bahkan tak akan
membuatnya semakin rumit, tapi mereka dengan cerdas membuat semuanya rumit dan
dengan tenang meninggalkanku dengan ribuan pertanyaan yang tak terjawab. Aku
bisa bertahan untuk 10 purnama, tapi satu purnama terakhir aku rusak. Justru di
detik-detik terakhir semua hancur dan aku rusak, ya aku sungguh meledak.
Ada yang berkata, menjadi orang baik itu tidak ada
gunanya. Untuk situasi seperti ini kata-kata itu sungguh tepat. Aku ingin menjadi
orang baik, sungguh. Tapi mereka membuat aku terlihat bodoh. Kata Selena di
lagunya yang berjudul The Heart What it
Wants, “This is a modern fairy tale, no happy endings, no wind in our sails”.
Ya, pada part itu aku sungguh setuju,
ada beberapa alasan akhirnya aku menyimpulkan bahwa semuanya terasa abu-abu.
Aku struggle, aku gila, aku survive, dan aku pergi. Bahkan sampai
sekarang aku merasa bahwa purnama terakhir seperti dunia semu di mana aku tak
percaya apa yang di dalamnya.
Beberapa momen membuat aku terlihat jahat, tapi
situasinya mereka yang buat. Aku berteriak, ingin aku menghilang. Mereka cerdas
dengan permainan psikologis mereka yang
tampak everythings ok di depan
khalayak umum, tapi hancur deep inside.
Aku butuh jalan untuk melarikan diri, tapi mereka menutupnya, sial. Ingin aku
menolak semuanya, tapi mereka menjejaliku tidak hanya sepotong tapi sebongkah
yang kadang aku tak terima. Ingat, mereka cerdas dengan permainan psikologis
yang akan membuatku merasa tertekan. Satu catatan penting, mereka sangat pandai
membuat orang lain merasa bersalah.
Mereka memiliki kebahagiaan mereka sendiri, tapi tak
mengizinkanku untuk memiliki kebahagiaanku sendiri. Ya, aku memang berlebihan.
Tapi aku pikir karena pikiranku sudah terlalu berkecamuk. Aku tak ingin
berlarut-larut, aku ingin mengembalikan pikiran dan perasaanku yang hancur. Terima
kasih untuk yang mau tinggal di sisiku di satu purnama terakhir, ingat kita
hanya kumpulan dari yang terbuang dan berkumpul karena saling menguatkan. Untuk
orang yang bertanya di luar sana, inilah jawaban versiku. Mereka mau menghakimi
atau bahkan mencemoohku silakan. Aku ingin cepat keluar dari proses recovery ini dan segera menemukan
kebahagiaanku.
0 comments