(Review) Winter In Tokyo



 https://twitter.com/MaximaPictures

“Halaman pertama ceritaku adalah milik belasan musim dingin yang lalu...”

Saya jarang menonton film dalam negeri, jika itu bukan film yang memang box office untuk ukuran film dalam negeri, saya jarang melihat film dalam negeri di bioskop. Kali ini berhubung bisa nonton gratis di aplikasi Hooq saya memilih-milih film mana yang akan saya tonton. Dan saya menjatuhkan pilihan saya kepada Winter In Tokyo, kenapa? Buku terakhir yang saya baca adalah Winter In Tokyo karya Ilana Tan. Dan film ini merupakan adaptasi dari buku ketiga tetralogi “season” karya Ilana Tan. Saya membaca keempat buku tetralogi “season” tersebut, mulai dari Summer In Seoul, Autumn In Paris, Winter In Tokyo, hingga Spring In London.

Tentu saja saya berekspektasi lebih terhadap film garapan Maxima Pictures ini, dengan embel-embel based on mega best selling novel, saya berharap film ini akan luar biasa. Dion Wiyoko dan Pamela Bowie didapuk menjadi pemeran utama, entah apa yang membuat Maxima menjatuhkan pilihannya pada mereka, hanya karena mereka bermata sipit? Oh come on, ada nada rasis di sini. But saya tak mau underestimate pada mereka sebelum melihat akting mereka. Kemudian saya menonton film ini di aplikasi Hooq dan terjawab sudah, film berdurasi sekitar 90 menit ini tak sesuai ekspektasi saya, inilah Winter In Tokyo, film yang terseok-seok, terlalu memaksa, dan klise!

Winter In Tokyo bercerita tentang Ishida Keiko (Pamela Bowie) kedatangan tetangga baru di apartemennya. Dialah Nishimura Kazuto (Dion Wiyoko) yang dengan tiba-tiba jatuh cinta pada Keiko. Sudah bisa ditebak bahwa adegan-adegan romantis di Jepang dengan sentuhan winter akan terjadi di film yang memang mengambil semua latar di Jepang. Hingga pada akhirnya muncul Kitano Akira (Morgan Oey) yang tak lain dan tak bukan adalah cinta pertama Keiko. Ada rasa cemburu di dalam diri Kazuto. Hingga pada akhirnya ketika Keiko akan ke Kyoto untuk merayakan natal Kazuto berani untuk meminta Keiko melepas Kazuto. Tapi kereta Keiko sudah tiba, hingga Kazuto berjanji akan melanjutkan kalimatnya sepulang Keiko dari Kyoto. Tapi celakanya Kazuto dikeroyok oleh preman-preman hingga menyebabkan Kazuto hilang ingatan parsial, yakni dia tak akan bisa mengingat kejadian sebulan terakhir. Selanjutnya cerita sudah bisa ditebak dengan mudah.

Memang terkadang ketika “memindah” apa yang tertulis di dalam buku ke sebuah film, pasti akan ada bagian-bagian yang tak akan diceritakan di film. Tapi untuk Winter In Tokyo, semua serba dipaksakan, cerita yang melaju kencang dan hanya sepotong-potong, pasti akan membuat penonton yang tak membaca bukunya beranggapan bahwa ini terlalu tiba-tiba. Ya bagaimana proses membangun ikatan antara Keiko dan Kazuto yang cepat sekali. Sepertinya bahwa cinta Kazuto untuk Keiko begitu instan dan tak begitu dalam. Berbeda sekali di buku yang proses mereka saling suka membutuhkan proses. Plot yang bolong dan seperti terseok-seok, novel yang cukup tebal tiba-tiba dipadatkan menjadi 90 menit film. Ada hal-hal yang cukup mengusik. Misalnya saja pada masa kecil Keiko dan Naomi (kembaran Keiko), pemeran yang dipilih tak kembar, berbeda sangat jauh dan tak mirip. Padahal dijelaskan bahwa mereka kembar, ini cukup fatal. Kemudian ada saat segerombolan preman yang mengeroyok Kazuto, di buku dijelaskan bahwa yang mengeroyok Kazuto adalah gengster Jepang, alih-alih orang Jepang, ini yang ngeroyok Kazuto wajah-wajahnya seperti preman Indonesia yang wajahnya “Jawa banget” sumpah ini ngaco banget.

Cerita Winter In Tokyo sangat klise, apalagi kalau bukan cinta. Tapi cinta di sini terkesan seperti cinta FTV yang begitu murah dan mudah. Terlepas dari itu semua saya menyukai sinematografi dan teknik pengambilan gambar yang sedikit menolong film ini. Sinematografi khas film romantis dibumbui dengan tone Asia Timur ditambah dengan pemandangan Jepang yang cantik. Fajar Bustomi sebagai sutradara tidak terlalu gagal, hanya saja ia seperti belum paham dengan buku Ilana Tan ini. Yang lebih mengecewakan lagi adalah koneksi film Indonesia yang berlatarkan Jepang,     hingga beberapa dialognya juga menggunakan bahasa Jepang. Kembali lagi, bahwa dialogpun terkesan dipaksakan, percakapan dengan menggunakan bahasa Jepang juga sedikit sekali dan itupun kaku. Kemudian dengan mudah percakapan menggunakan bahasa Jepang berpindah ke percakapan menggunakan bahasa Indonesia, yang kadang baku dan kadang tidak. Sedikit mengganggu tapi tidak terlalu fatal.

Oke, setidaknya sedikit tertolong Dion Wiyoko-Morgan Oey dan soundtrack. Mengapa saya berkata demikian? Ini berkata Dion yang begitu pas memerankan Kazuto yang misterius di awal, romantis di pertengahan, dan gamang di akhir. Saya apresiasi untuk Dion yang tampaknya sudah nempel dengan peran-peran tokoh berwajah oriental. Dan yang paling mengejutkan adalah Morgan Oey yang sukses menjadi scene stealer. Akting Morgan yang semakin terasah (Good decision Morgan you out from Smash!), di sini saya suka Kitano Akira yang merupakan sahabat yang hangat dan selalu peduli, kemudian adegan favorit adalah saat Kitano Akira mengajak Keiko ke pertemuan keluarganya. Sewaktu mereka keluar mobil dan membawa payung masing-masing dikarenakan hujan, Keiko secara implisit menolak Kitano Akira karena hatinya sudah pada Kazuto. Di situ, wajah Kitano yang ikhlas merelakan Keiko pergi begitu memorable, good job Morgan! Saya tidak suka Pamela di sini, akting yang dipaksakan, kurang natural, dan terlalu childish. Padahal Keiko di buku begitu cheerful tapi masih sesuai dengan usianya, pantang menyerah, dan so lovely. Pamela membuat saya berpikiran negatif tentang Keiko. Terlebih Kimberly Ryder yang berperan sebagai Yumi, seseorang yang dicintai Kazuto sewaktu di New York, Oh no! apa yang kau lakukan di sana Kimberly!! Kimberly sangat buruk, semuanya tidak sesuai, terkesan “tempelan” dan annoying benget. Begitupun dengan Brandon Salim dan mantan anggota Cherrbelle yang saya tidak tahu namanya, akting mereka begitu dipaksakan dan tidak natural, departemen kasting patut dipertanyakan bagaimana bisa memilih pemain-pemain ini. Departemen musik menjadi satu-satunya alasan saya masih melanjutkan film ini dan tak saya skip-skip. Afgan dengan Tanpa Bahasa-nya yang keren abis, kemudian ada Bobby Antonio dengan Cinta Harus Menunggu yang pas dan sesuai koridor scene-scene yang menggunakannya sebagai backsong. Ditambah dengan lagu asli Jepang untuk menjembatani film Indonesia berlatarkan Jepang.

Saya kecewa, lebih kepada eksekusinya yang kurang pas. Semua serba dipaksakan dan tidak pada koridornya. Pos masing-masing seperti ditinggal oleh penjaganya. Ada lubang yang tertinggal, membekas dan menganga kemudian dibiarkan begitu saja. Meski banyak kurangnya tetapi film Winter In Tokyo ini masih bisa dinikmati jika nontonnya bareng sama pacar. Ya kali!!! ItulahWinter In Tokyo: terseok-seok, terlalu memaksa, dan klise!
¤∞∞¤∞∞¤

You Might Also Like

0 comments