Catatan di Polewali Mandar #5
Mengapa Mengajar Itu Menyenangkan.
Iya, hampir enam bulan di sini membuatku semakin
nyaman berada jauh dari rumah. Ada banyak hal yang membuatku betah di sini.
Esensi utama tentu saja mengajar, ada banyak kisah di dalamnya yang selalu akan
kuingat. Ya momen demi momen tercipta begitu saja, tak pernah kusangka bahwa
takdir akan membawaku begitu jauh. Dengan tajuk: mengapa mengajar itu menyenangkan,
sekilas akan kubagi kisah-kisah saat mengajar selama hampir enam bulan ini.
Mengajar di
SMA: Ekstra Sabar,Fun, dan Menantang!
Jarak usia yang tidak terlalu jauh membuat mereka
menjadi sedikit kurang menghargai. Aku memakluminya, ya setidaknya dengan
pendekatan lebih kepada teman ke teman membuatku menjadi dekat
dengan mereka. Tapi beberapa dari mereka datang ke sekolah hanya sekedar datang,
kadang tanpa membuka buku dan keluar kelas entah ngeluyur ke mana. Untuk murid
yang sudah sangat spesial ini akan kubiarkan, tidak hanya sekali aku mengingatkan
mereka untuk fokus belajar, melelahkan tentu saja, tapi usaha yang sudah
berkali-kali kulakukan tidak membuahkan hasil pada akhirnya membuatku menyerah,
bukan karena aku lelah tetapi kepada menasihati mereka tak akan ada gunanya.
Mereka akan seperti itu terus, tidak hanya denganku tapi dengan guru-guru lain
mereka juga kurang bisa menghargai. Mungkin mereka memang tidak tahu tujuan ke
sekolah itu untuk apa. Masih banyak murid yang semangat untuk mendapatkan ilmu,
nah tugasku adalah menjaga mereka yang masih semangat belajar agar tetap fokus
dan tidak terseret dalam pergaulan yang sesat dan tentu saja merugikan.
Menjadi dekat dengan mereka tidak membutuhkan proses
yang panjang, mereka adalah tipe murid yang menyukai hal baru. Menurut mereka
pelajaran bahasa Indonesia sulit, mereka jarang membaca dan menulis sehingga
mereka sering sekali salah saat menulis kata. Jika terdapat kata yang
berakhiran huruf “n” mereka terkadang menambahkan huruf “g” seperti contoh pada
kata bulan,
mereka akan menulis bulang atau pada kata biarkan mereka mengubahnya menjadi biarkang.
Lain lagi ketika menulis kata yang berakhiran huruf “a” mereka akan menambahkan
huruf “h”, seperti contoh pada kata lama, mereka menulis menjadi lamah.
Aku mencoba untuk memperbaiki kesalahan penulisan mereka. Ide yang tercetus
saat itu adalah dengan mengadakan kuis kata. Jadi seperti ini, aku
akan mendikte mereka dengan beberapa kata yang akan kuucapkan, tugas mereka
adalah menulis bentuk dari kata yang kuucapkan. Pelan tapi pasti penulisan kata
mereka membaik, meski ada beberapa yang masih salah namun dengan latihan mereka
pasti akan bisa menulis kata dengan benar. Mereka menjadi semangat untuk kuis
kata, mereka selalu menanyakan kapan akan diadakan kembali kuis
kata. Aku senang mereka mulai antusias untuk menulis, baiklah, level
permainan dinaikkan. Aku menamakan kuis kata dalam lagu. Ya, tugas
mereka adalah menulis lirik yang rumpang. Aku memberi mereka beberapa lirik
lagu yang di beberapa bagian sudah kukosongi. Tugas mereka adalah menulis lirik
yang sudah kukosongi, memang sederhana tapi mereka tetap antusias untuk mengerjakannya.
Di satu sisi mereka harus mendengar kata apa yang dinyanyikan dalam lagu
tersebut, di satu sisi mereka harus menulis bentuk kata tersebut dengan benar. Ya,
aku senang sekali mereka menjadi antusias dengan pelajaran bahasa Indonesia. Di
awal pertemuan dengan mereka aku akan menjanjikan hadiah bagi mereka yang aktif
dan berprestasi. Jadi aku akan memberi mereka bintang untuk siapapun yang
aktif, nilai tugas maupun nilai ulangannya paling tinggi. Aku teringat ketika
PPL, Titin (teman PPL) mengajariku untuk membuat murid lebih semangat mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan bintang sebagai media agar mereka lebih
antusias dalam mengikuti pembelajaran. Thank you Titin! Jadi, di akhir
semester, siapapun yang mendapat bintang terbanyak, dialah yang akan mendapat
hadiah. Ya, ada banyak cara agar mereka menyukai pelajaran bahasa Indonesia,
beberapa kali kuselingi permainan agar mereka tidak bosan. Aku juga membebaskan
mereka untuk makan atau minum di dalam kelas. Setidaknya mereka akan tetap
berada di dalam kelas saat pelajaran berlangsung meski ada beberapa dari mereka
yakni tipe murid spesial tetap keluar untuk ke kantin.
Mengajar di kelas X.1
Beberapa murid "spesial"
Pernah saat mengajar mereka siang hari aku kelelahan, karena
pagi hari aku membantu mengajar SMPN Satu Atap Katumbangan (SMP tempat
murid-murid SMA melaksanakan proses belajar-mengajar karena bangunan SMA sedang
dalam proses pembangunan) menggantikan guru bahasa Indonesia yang sedang sakit,
dengan polosnya mereka berkata, “Pak
Tondo semangat dong, kita jadi gak semangat kalau Pak Tondo gak semangat gitu”.
Aku terperanjat tentu saja, terharu (serius ini tidak berlebihan) karena mereka
bisa berkata seperti itu. Sering aku menekankan pada meraka bahwa menjaga
kesehatan itu penting, tapi lihatlah pada waktu itu aku yang justru tak bisa
menjaga kesehatanku dan berakibat aku kelelahan. Hingga mereka berkata demikian
dan membuatku untuk semangat lagi. Terlebih pada awal semester II ini, terdapat
guru bahasa Indonesia baru bernama Pak Angga. Beliau guru PNS yang dipindah ke
SMA ini, pada awalnya murid-murid sedih aku tak mengajar mereka lagi, tetapi
aku meyakinkan pada mereka bahwa siapapun guru yang akan mengajar mereka,
mereka harus tetap menyukai pelajaran bahasa Indonesia, aku menyuruh mereka
untuk menghargai Pak Angga menyerap ilmu yang diberikan Pak Angga. Suatu ketika
Pak Angga menyampaikan sesuatu padaku, ia harus tetap mengajar di sekolah
sebelumnya karena beliau juga Waka Kurikulum di sekolah sebelumnya. Beliau
menyerahkan pelajaran bahasa Indonesia padaku. Aku hanya perlu menyerahkan
dokumen pembelajaran nantinya dan saling berkoordinasi terkait pelajaran bahasa
Indonesia. Aku senang masih mengajar murid-murid SMAN 2 Campalagian, mereka
juga senang aku yang mengajar mereka selama sisa 6 bulan aku di sini, mereka
takut aku dipindah entah ke mana (ini serius lagi, bukannya aku berlebihan).
Kelas X.1 melaksanakan ulangan harian,
cerdasnya mereka ketika mencontek dengan saling berkomunikasi
menggunakan bahasa Mandar supaya aku tidak paham dengan apa yang mereka
katakan
Pernah mereka marah padaku, kejadiannya saat ulangan
akhir semester I. Mereka marah karena saat mengawasi mereka aku terlalu ketat,
kata mereka, mereka tak dapat mencontek karena mataku sangat awas ketika
ulangan akhir semester I. Aku menekankan pada mereka bahwa mendapat nilai
berapapun akan lebih baik jika itu hasil usaha sendiri. Buat apa nilai bagus
jika itu adalah hasil mencontek, mereka menjadi marah. Terlebih Rahim (salah
satu murid) sempat saya suruh mengerjakan ulangan akhir semester di luar
ruangan. Pada saat itu ulangan akhir mata pelajaran Pkn, ia sangat berisik
hingga mengganggu teman-temannya dalam mengerjakan ulangan. Bukan hanya sekali
aku mengingatkan ia agar tidak berisik. Tapi ia mengulangi perbuatannya
sehingga teman-temannya yang sedang serius mengerjakan ulangan menjadi
terganggu. Akhirnya aku membawa satu meja dan satu kursi ke luar dan menyuruhnya
untuk mengerjakan ulangan di luar. Pada awalnya ia mengikutiku keluar untuk
memohon supaya ia tetap mengerjakan di dalam dengan alasan ia malu jika semua
orang tahu ia mengerjakan ulangan di luar. Aku tetap menyuruhnya mengerjakan di
luar, ia marah kemudian pergi entah ke mana.
Menyenangkan ketika bercerita pada mereka tentang
banyak hal, mereka seringkali bertanya bagaimana kuliah itu, mahalkah?
Menyenangkan tidak? Lalu aku akan bercerita banyak hal pada mereka, mereka akan
mendengarkan dengan saksama dan kadang berkomentar yang memancing tawaku. Satu
hal lagi yang menyenangkan adalah dekat dengan mereka membuat mereka percaya
sepenuhnya padaku. Mereka tak akan segan untuk bertanya, bercerita, atau
bercanda asalkan itu masih pada koridor wajar. Kadang seru juga rasanya tahu
kisah percintaan mereka, atau aku akan menjodoh-jodohkan mereka, niatnya
sekedar lucu-lucuan dengan tujuan agar aku bisa lebih dekat dengan mereka. Mungkin
ada yang menilai aku tidak tegas, tapi percayalah bahwa metode orang itu
berbeda-beda, aku suka ketika aku dan muridku dekat, untuk murid-murid yang tak
kupedulikan, itu karena mereka memang tidak mau dipedulikan. Ada seribu alasan
mengapa aku tak berbuat apa-apa, bukan aku takut. Tapi lebih kepada untuk apa
berbuat hal yang memang tak akan mengubah apapun dan tidak ada hasilnya, bahkan
orang tua mereka saja tidak mampu mengubah tabiat mereka.
Kelas X.2 melaksanakan ulangan harian
Saat mengawas ulangan akhir semester I
Mengajar anak-anak SMA di sini butuh sabar yang ekstra,
aku harus bisa melihat pola belajar mereka. Aku tak memaksakan kehendak materi
harus selesai pada hari itu, aku belajar bahwa menjaga mood mereka sangat penting. Jika mood mereka sudah memburuk, itu akan berakibat fatal. Mereka akan
seenaknya sendiri dan terkadang jika dinasihati mereka akan justru marah dan
meninggalkan kelas. Oke, ini menjadi tugas yang sangat penting, bagaimana agar
mereka tetap terkendali dengan menjaga mood
mereka yang kadang naik kadang turun. Jika sudah terlanjur mood mereka rusak, aku akan mengubah pembelajaran bagaimanapun
caranya agar mereka tetap masuk ke dalam kelas meski mood mereka sedang rusak. Terkadang aku harus memikirkan metode
pembelajaran pada saat itu juga dan mendadak. Aku juga akan mendatangi satu per
satu meja mereka jika mereka memang membutuhkan bantuanku. Aku tak mau mereka
tak paham dengan materi karena takut bertanya. Ini menjadi proses yang
menyenangkan, bahwa aku ada untuk mengantar mereka melewati masa-masa SMA yang
singkat ini. Meski hanya tersisa 6 bulan, aku akan menciptakan momen-momen yang
menyenangkan bersama mereka. Bagaimanapun caranya. Ada yang bilang jika aku tak
terlalu merasakan daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal). Tapi
percayalah bahwa daerah 3T tidak harus tentang daerah terpencil, bangunan
sekolah yang masih beralaskan tanah. Di sini lebih pada bagaimana mengubah pola
pikir mereka, bahwasanya sekolah adalah hal yang sangat penting, sebagian dari
mereka terlalu menyepelekan sekolah. Jika hujan, tidak sedikit dari mereka akan
tidak berangkat ke sekolah, padahal jarak rumah mereka ke sekolah terbilang
dekat. Terlebih lagi akibat salah pergaulan, mereka menjadi tidak tahu hakikat apa
itu sekolah dan apa itu mencari ilmu. Mungkin sebagian dari mereka hanya ingin
menjadi petani, karena kebanyakan orang tua mereka memiliki sawah. Tapi tak
lelah aku menjelaskan bahwa jika mereka ingin menjadi petani, setidaknya mereka
harus menjadi petani yang cerdas. Aku menyampaikan jika mereka memiliki
kesempatan, masuklah ke jurusan pertanian, itu akan membantu mereka kelak. Dan
yang paling penting adalah agar mereka bisa bermanfaat dan menjadi generasi
penerus bangsa yang hebat.
Mengajar di
SMP: Menghadapi Bocah yang Beranjak Remaja!
Aku mengajar di SMP hanya sekitar sebulan, itupun di
akhir semester I kemarin. Pada waktu itu, aku diminta Pak Sawawi (Kepala
Sekolah SMP Negeri Satu Atap Katumbangan) untuk menggantikan Bu Indrayani (guru
bahasa Indonesia di SMPN Satap Katumbangan) yang sedang sakit. Mengajar mereka
membutuhkan sabar yang ekstra juga, perbedaannya dengan mengajar SMA adalah bahwa
mereka masih bocah, masa transisi dari anak-anak ke remaja. Mereka masih senang
bermain-main, bersenda gurau, dan berkerumun dengan teman-teman. Seminggu
mengajar 20 jam pelajaran dan ditambah masih mengajar SMA pada siang harinya,
hal ini yang membuatku kadang kelelahan. Apalagi mengajar di SMP membutuhkan
tenaga yang luar biasa banyaknya. Aku berpikir bahwa energi mereka yang tak
habis-habis harus diimbangi dengan energi yang besar pula.
Ternyata mereka juga kurang bisa menulis kata dengan
benar. Aku jadi menduga bahwa sedari kecil mereka malas membaca, sehingga hal
itu menyebabkan penulisan kata mereka kurang benar. Ditambah dengan mereka
sangat senang bermain, maka pembelajaran kadang aku selingi dengan permainan.
Mereka juga lebih suka mencatat, jadi kadang aku akan menjelaskan secara
singkat setelah mencatat materi di papan tulis untuk mereka. Dan yang paling
penting mereka tetap paham dan mengerti tentang materi yang aku sampaikan.
Saat mengawas kelas IX di ruang I ulangan akhir semester I
Pernah suatu ketika, aku mengajar di kelas VIIA,
kondisi mereka setelah pelajaran olahraga, kupikir mereka akan tinggal duduk,
diam, dan mendengarkanku menjelaskan karena kelelahan sehabis pelajaran
olahraga. Namun, ternyata aku salah, aku lupa bahwa energi mereka begitu besar.
Bahkan terdapat beberapa murid “super” yang saling berkejar-kejaran
di dalam kelas. Aku maklum mereka baru saja lulus SD, kelakuan mereka juga
masih kekanak-kanakan. Pada saat itu aku marah pada mereka, beberapa kali diingatkan
mereka tetap saja ramai dan mengganggu teman-teman yang sedang fokus
mendengarkanku menjelaskan materi. Mereka kusuruh bermain di luar, mereka tak
mau, mereka berjanji akan diam. Tapi 20 menit sebelum pelajaran usai, mereka
ramai lagi. Aku tak tahan, aku menggebrak meja, serius itu pertama kalinya aku
menggebrak meja. Mereka tentu saja kaget, pada awalnya aku tak bermaksud untuk
marah, aku hanya ingin mereka mendengarkanku. Aku menjelaskan pada mereka
mengapa aku harus mengajar mereka satu bulan. Mereka terdiam, suasana kelas
hening dan selanjutnya aku diam, aku akan menunggu hingga bel berbunyi. Akhirnya
bel pulang berbunyi dan kelas siap untuk bubar, ketika mereka selesai membaca
doa, aku bersiap untuk keluar dari ruang kelas. Mereka bersiap akan bersalaman
denganku, namun aku tidak mengindahkan mereka. Aku ingin mereka berpikir akibat
kelakuan mereka dan dampak yang ditimbulkan. Pertemuan selanjutnya aku sudah
biasa dan tak menyebut kejadian pertemuan sebelumnya. Mereka jadi lebih
kondusif dan lebih tenang dari sebelumnya. Aku bersyukur mereka sedikit mau
berubah. Kelas VIIB sebelas-duabelas dengan kelas VIIA, ya aku maklum karena
mereka baru saja lulus SD, kelakuan mereka juga masih kekanak-kanakan. Mereka
masih antusias untuk bermain dan bersenda gurau. Walau tak semua, namun
sebagian murid menjadi biang keributan sehingga mengganggu proses
belajar-mengajar.
Di kelas VIII mengajar sangat menyenangkan. Mereka
sangat interest dengan pelajaran,
seolah-olah mereka berpikir bahwa mereka butuh pengetahuan baru. Apalagi mereka
jarang sekali ramai, kecuali trio ubur-ubur (Fani, Febri, dan Anisa). Saya dan
kelas VIII menamai mereka trio ubur-ubur, mereka bertingkah seenaknya.
Teriak-teriak di dalam kelas, masuk kelas terlambat, dan ramai sendiri. Seringkali
aku memperingatkan mereka, tapi mereka tak mengindahkan peringatan yang
kuberikan. Mereka adalah tipe murid yang selalu cari perhatian, pernah aku tak
memperbolehkan mereka masuk ke dalam kelas karena mereka terlambat lebih dari
setengah jam pelajaran. Mereka merajuk, tapi keputusanku sudah bulat dan keputusan
ini agar membuat mereka jera, lebih disiplin, dan lebih menghargai orang lain. Namun,
banyak juga dari kelas VIII yang langsung menjadi dekat denganku, contohnya
saja Icha, Hamzah, Dua Usman, Tina, Iqbal, Masdar, Halim, Kadri, Arhad, Indra,
Nurdin, Umar, Rasul, Irma, Nuralam, Elisa, Wahyu, dll. Mereka sangat excited jika aku masuk ke kelas, apalagi
jika sudah kuis dan permainan. Kelas IX berbeda lagi, di mana lelaki kelas IX
semua sangat spesial kecuali satu, Miko. Miko satu-satunya murid yang tak
pernah aneh-aneh, ia rajin bahkan kelewat rajin pikirku. Dengan kelas IX aku sering
membicarakan banyak hal, terutama mereka yang harus segera mempersiapkan diri
untuk ujian nasional. Kemudian mereka akan meneruskan ke SMA mana, pembicaraan
ini menjadi topik selingan di waktu aku mengajar mereka.
Saat mengawas kelas VII A di ruang V ulangan akhir semester I
Mengajar mereka merupakan suatu tantangan tersendiri,
maklum saja, karena mereka masih proses mencari jati diri menuju remaja.
Istilahnya masih belum menghadapi masalah yang “memporak-porandakan” pertahanan
batin mereka, sehingga mereka masih berpikiran hidup semau gue yang
notabene membuat mereka bertindak sesuka hati. Jika mereka dikekang, mereka
justru akan memberontak. Aku harus ekstra sabar menghadapi kelakuan mereka dan
juga harus siap menghadapi murid-murid dengan kepribadian beragam. Namun,
ketika aku sekarang tidak mengajar mereka, aku justru merindukan momen ketika berada
di tengah-tengah mereka di dalam kelas. Ketika aku berangkat dan baru sampai di
gerbang sekolah mereka akan meneriakkan namaku dan melambaikan tangan mereka,
tidak hanya murid SMP tapi juga murid SD (SMPN Satu Atap menjadi satu dengan
SDN 010 Katumbangan) yang menyambutku begitu hangat. Meski aku tak hapal nama
mereka satu per satu, tapi aku mengingat wajah-wajah lucu mereka ketika
memanggil namaku, “Pagi Pak Tondong”. Kelak aku akan menceritakan saat kegiatan PORSENI dan pelatihan baris berbaris.
Sebuah kesempatan yang luar biasa, sebuah refleksi
masa-masa SMP dulu. Bagaimana nakalnya mereka, setiap saya marahi dan saya
hukum, mereka akan mengulanginya esok hari dan hal itu akan berulang. Sudah
pasti kelak saya akan merindukan mereka. Ya, bahkan sekarang-sekarang ini aku
merindukan mengajar mereka.
¤∞∞¤∞∞¤
0 comments