Sebuah Surat

6 Oktober 2013
Aku lelah menghadapi ini sendirian. Rasanya sudah tak ada lagi sosok-sosok yang membuatku tenang dan membantuku menghadapi ini semua. Tangan yang biasa menggenggam kini tak ada lagi. Peluk hangat dan kata-kata menenangkan kini juga tiada lagi. Aku tahu waktu terbaik kita telah berlalu, aku hanya ingin bertindak bijak: jika dengan membuatku terluka kalian bisa menemukan kebahagiaan masing-masing, aku akan terima dan berharap itu yang terbaik.
Kita pernah memulai ini bersama-sama, tetapi mengapa sekarang aku yang harus menyelesaikannya sendiri. Aku tak suka kepura-puraan, jangan pernah berpura-pura tak pernah ada apa-apa. Padahal kenyataan berbicara lain.
Aku tak pernah menyalahkan siapa-siapa, biar saja waktu dan keadaan yang menjawab ini semua. Jika saja aku bisa meminta satu hari hanya untuk memeluk kalian.... Pernah ku ingin hilang ingatan dan tak pernah mengingat hal ini, karena hal ini sungguh terasa menyesakkan.
Sejak kalian berubah, aku bertanya pada diriku sendiri apakah ada yang salah denganku. Pernah ku berpikir apakah ku harus membuktikan bahwa kita masih bisa untuk bertahan. Mungkin aku terlalu berlebihan menyikapi situasi dan kondisi kita saat ini. Aku pernah berpikir dengan membiarkan masalah ini, semuanya akan baik-baik saja, namun ternyata tidak. Aku layaknya menunggu setitik cahaya di saat matahari tak akan pernah muncul lagi.
Aku terlalu berharap penuh pada kalian, kalian yang kuizinkan untuk masuk ke dalam kehidupanku yang lebih dalam. Saat kalian pergi, aku seperti menggapai ujung langit yang terlalu tinggi dan aku sadar bahwa aku tak akan pernah mampu menjangkaunya. Ya, 4 bulan ini aku terlalu rapuh dengan kesendirianku dan terlalu rapuh dengan kekecewaan yang datang disaat aku tak mengharapkannya. Aku tak pernah menyangka cerita kehidupan akan serumit ini. Akhirnya aku menyerah pada keadaan dan situasi ini.
Saat harus berhadapan dengan kalian setelah 4 bulan ‘masa rapuh’ku, aku harus menjadi orang lain. Tahukah kalian aku lelah dengan menjadi sosok lain dan harus menyembunyikan betapa rapuhnya aku. Aku berharap kalian datang dan menanyakan keadaanku -apakah aku baik-baik saja-, namun kalian berbicara padaku pun tidak. Aku semakin kecewa dengan kalian yang justru menceritakan pada orang lain dan tak berusaha menyelesaikan semuanya. Aku terlalu takut untuk memercayai ini semua: kalian dan orang lain.
Kini aku harus menerima: banyak pasang mata yang menyorot, bisikan-bisikan di belakangku. Aku berpikiran kini semua orang membenciku dan aku sendiri. Aku berharap aku bisa lari, namun kenyataannya aku tak mampu. Aku hanya bisa menutup mata dan telinga, tak tahu kapan aku harus membuka mata dan telingaku lagi.
Aku pernah berpikir bahwa posisiku ini adalah posisi yang paling dirugikan. Tetapi, aku sekarang bukanlah aku yang dulu. Kalian pernah mengajarkan padaku betapa pentingnya arti sebuah PENERIMAAN. Aku lebih kuat, aku lebih bijak. Ini semata-mata untuk sebuah penerimaan yang terlalu sulit aku lakukan, namun aku berharap nantinya aku dapat selalu mudah melakukannya jika sewaktu-waktu aku menghadapi situasi yang serupa.
Pada akhirnya aku masih berdiri di sini, karena ini hal terbaik yang dapat aku lakukan. Bertahan untuk tahu kebenaran apa yang terungkap kelak. Terima kasih menjadikan seseorang yang lebih bijak dalam mengambil keputusan. Aku menjadikan ini semua pelajaran, bahwa perjalanan hidupku memang tak pernah dapat diduga. Pendewasaan diri ini benar-benar membuatku lebih tegak berdiri di atas kedua kakiku sendiri. Karena seseorang pernah berkata, “stand up for what you believe in”.

Aku merindukan kalian....
 Kini kita harus berpisah... jarak, waktu permainkan kita....

Sebenarnya banyak hal yang ingin kusampaikan pada kalian....

You Might Also Like

0 comments