Sebuah Firasat: Inilah Titik Dimana Aku Harus Mundur

Senin, 28 Oktober 2013
Pukul 06:15 sore, saat hujan baru saja reda dan menutup hari ini dengan sedikit kelam.

Sebuah catatan yang kutulis untuk orang-orang yang mengenalku.

Ini diriku yang sekarang: krisis kepercayaan. Aku tak tahu lagi pada siapa kepercayaanku akan ku berikan. Hari ini aku menyadari suatu hal, bahwa aku harus bisa menghadapi ini sendirian tanpa bantuan siapapun. Segala sesuatunya telah berubah, kini aku harus dapat membentengi diri agar tak terluka lagi semakin jauh dan dalam. Terlalu banyak perubahan pada hidupku: kesendirian, kekecewaan, penghianatan, dan luka merupakan hal yang tidak asing lagi bagiku.
Aku ingin kebahagiaanku yang dulu, karena untuk sekarang ini aku lebih sering menghela napas. Tuhan, apa aku tak berhak bahagia (lagi)? Aku dan mereka seperti tak lagi di dunia yang sama, kami seperti ada di dunia yang berbeda. Mungkin inilah masa-masa gelapku, ketika aku sendiri dan tak tahu apakah aku bisa kuat lebih lama lagi. Rasanya aku hampir tak tahan dan melambaikan tangan untuk menyerah pada keadaan ini.
Harusnya aku juga bisa memikirkan ini dari awal, bahwa aku tak perlu masuk lebih jauh lagi pada kehidupan mereka. Aku bukan siapa-siapa bagi mereka, aku hanya datang di waktu yang salah, ketika aku terlalu banyak masalah. Kini, setelah mereka tahu keadaanku yang rapuh aku merasa kecewa karena mereka tak benar-benar ada di pihakku. Seharusnya aku tahu dari awal, aku bukanlah seseorang yang penting dalam kehidupan mereka.
Entah ini kekecewaanku yang ke berapa. Aku sudah tak bisa lagi menghitungnya. Dengan susah payah, aku belajar untuk mengerti jalan pikiran mereka dan memahami mereka. Tetapi mengapa mereka tak mau untuk mengerti jalan pikiranku dan sedikit saja memahamiku. Iya, aku berlebihan, aku sadar itu. Tapi tidakkah mereka mau memahamiku walau sedikit saja. Tuhan, aku lelah. Bolehkah aku mengeluh sebentar saja. Rasanya aku ingin berhenti dan memulai lagi dari awal.
Akankah sang mentari dapat secerah hari-hari lalu ketika tahu aku lelah dan tak bisa menanggung ini sendirian. Akankah bulan sabit seindah malam-malam kemarin ketika tahu bahwa aku tak bisa lagi melalui ini semua. Akankah samudera kan mengering pada hari esok saat tahu aku mungkin akan pergi....
Aku harus memilih jalan berliku dan selalu waspada akan jalan yang terlalu gelap. Tak bisakah semua ini disederhanakan dan dipermudah agar aku bisa tetap tersenyum kecil saat melewatinya. Hingga aku menyimpulkan: mereka belum bisa menghargaiku dan menerima keberadaanku di hari-hari mereka. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih untuk tahun-tahun terakhir mau mengizinkanku datang dalam kehidupan mereka. Walau aku tak tahu sebenarnya apakah mereka berpura-pura atau tidak menerimaku.
Kesempatan dan waktu terlalu cepat berlalu. Ketika semuanya diuji, semuanya sudah terlambat. Pada akhirnya aku hanya bisa rela dan ikhlas. Lagi-lagi PENERIMAAN harus kulakukan. Semuanya terasa sulit, takdir yang beriringan membuatku berniat untuk mundur. Tapi, aku harus memikirkannya seribu kali agar tak ada pihak yang terluka karena keputusan yang kubuat ini. Disaat seperti ini saja aku masih memikirkan orang lain. Aku terlalu lemah...
Dan harus ku akui bahwa ini badai terdahsyat yang datang dan membuat semuanya porak poranda hanya dalam sekali waktu.....
***


* Suatu kali aku ingin menitikkan air mata, namun aku belum bisa.

You Might Also Like

1 comments