Sebuah Perjalanan Mengarungi Dunia

  • Home
  • POTRET DAN PERISTIWA
  • REVIEW
  • FOTOGRAFI



Camp Pertama Kali: Gunung Prau, 2565 mdpl



Yeah! Baru 6 bulan kemudian bisa nulis dan ngisi blog ini lagi setelah disibukkan dengan kegiatan “sekolah”. Di bagian ini saya pengen menulis tentang the first my journey untuk nge-camp di gunung. Ini ketiga kalinya saya naik gunung, setelah dua kali naik Gunung Andong, yang pertama bersama The Sweet of TEA pada saat siang-siang hot potatoes alias panas ngentang-ngentang dan kedua kalinya bersama Koprol pada saat sampai puncak disambut hujan badai dan berteduh di warung sambil makan mie rebus telur super nikmaaat! Tetapi dua kali naik Gunung Andong saya tidak nge-camp di sana, kami hanya naik pagi-pagi dan turun pada sore harinya.



Dulu saya pernah berpikir bahwa siapapun kelak yang akan menemani saya nge-camp pertama kali di gunung akan saya ceritakan pada khalayak ramai. Pernah penasaran dengan siapa orang-orang yang akan bersama saya untuk sampai puncak gunung dan gunung mana yang akan saya daki untuk camp pertama kali. Tulisan ini akan menceritakan pengalaman pertama saya bisa sampai ke puncak, dan puncak itu adalah puncak Gunung Prau: selamat datang di 2565 mdpl.




Rencana ini tercetus lama banget ketika saya pengen naik gunung, dan akhirnya saya bilang ke Rahmat kemudian dia mengiyakan, “Gassss Ndo!”. Ditambah ketika saya berkunjung ke rumah Mbak Tiva sewaktu lebaran, di sana ada Mas Della, Rahmat, Anggara, Panggih dan Faishal. Kami berencana sebelum PPL kami harus naik gunung. Baiklah, setelah beberapa kali rencana kami naik gunung diundur-undur terus, finally pada 28 Juli 2018 kami jadi juga untuk naik gunung. Yes, they are my team for this journey.



Saya berangkat bersama Rahmat pukul 13.00, sebelumnya kami ambil tenda dan matras dulu di tempat persewaan depan UMY. Setelah itu kami berdua sama-sama merasa lapar dan itu sangat menyiksa *Rahmat sampai gembrobyooosh masukin tenda ke carriernya*, maka dari itu kami makan mie ayam dulukk di sekitaran Gamping. Setelah itu tujuan kami adalah meeting point: Magelang! Sekitar pukul 15.30 akhirnya kami nyampe juga di Magelang. Pada pukul 16.11 kami oteweh ke Gunung Prau, saya, Rahmat, Panggih, Anggara, Mbak Tiva, Faishal, Mas Della dan pacarnya Mas Della J.




Berdelapan menembus dinginnya daerah pegunungan Magelang-Temanggung-Wonosobo. Dan itu pun kami malam-malam menuju ke Gunung Prau, jalanan di Wonosobo atas sudah turun kabut dan jarak pandang hanya beberapa meter. Bbbrrrrrrrrr, adem banget coyy. Sesaat berhenti untuk beli logistik -ini Rahmat sama Anggara malah beli semangka satu glundung dan apel setengah kilo *ya saya cuma geleng-geleng kepala, masa iya bawa semangka*- makan, salat, dan isi bensin, kami lanjut perjalanan dan akhirnya sampai ke parkirannya, terus kami melongo dan mbatin aja, “Whooooooot ini motornya buaaannyaaaaaak bangeets!” kami semua takjub dengan pemandangan parkiran yang sudah selayaknya parkiran orang-orang mau nonton live dangdut di alun-alun *serius.



Sampai basecamp kami berdelapan bersiap-siap untuk cuss mendaki. Sebelumnya kami menata barang-barang yang dimasukkan ke dalam tas kami, kemudian buang air dan bayar tiket di basecamp. Setelah berdoa dipimpin Faisal yang ngomongnya agak ga jelas, intinya ya semoga diberi keselamatan sampai kita turun. Dan here we go, pukul 21.50 kita mulai pendakian ke puncak. Saya bertugas bawa logistik dan karena tas ransel biasa jadi agak berat serta bikin boyok bobrok *huft. Kami berbekal lampu usb yang dicolok ke powerbank, senter dan head lampnya Anggara, kami menembus malam untuk sampai ke puncak. Because kami muncak di malam minggu dan ramai banget, perjalanan ke puncak jadi banyak teman dan sering berhenti karena jalannya ramai, untung ga pake traffic. Di ekspedisi ke puncak ini, kami menasbihkan Anggara sebagai captain, soalnya dia udah pernah muncak ke Prau ini, jadi dia udah tahu medan dan track ke puncak. Kata Anggara waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai ke puncak sekitar dua jam. Padahal puncaknya keliatan deket banget, masa iya sih sampai dua jam. Setengah jam perjalanan awal, kami masih menapaki jalanan berbatu yang dekat dengan rumah dan perkebunan warga, tapi jalannya nanjak banget dan udah bikin betis pegel padahal ini baru setengah jam awal, oh God.



Kemudian hal yang paling mengganggu adalah debu. Yap, sekarang musim kemarau dan jalanan rute ke puncak Gunung Prau adalah tanah yang berdebu. Alhasil debu masuk ke saluran pernafasan dan tambah bikin berat saat kami napas *duh Gusti. Dari pos 1 jalanan akan lebih menanjak dan melewati jalan setapak dan sampailah di pos 2, jika malam papan tanda pos 2 tidak terlihat jadi kita gak ngeh kalau udah lewat pos 2. Kemudian ada track landai yang aduhai enak banget, tapi setelah itu nanjak lagi bhosquuue. Kita sering berhenti karena capeknya gak ketulungan. Pas istirahat, belum ada sejam aja perut mulai bergejolak dan komat-kamit motivasi diri sendiri biar ga muntah, “Plis jangan muntah plis, ini bukan karena apa-apa, hamba takut dibully manusia-manusia penuh kenyiyiran yang njeplaknya gak kira-kira ini ya allah.” Pokoknya posthink biar ga muntah plis. Mau bilang sama mereka kalo saya pengen duduk aja mikir seribu kali, tapi masa bodohlah daripada muntah, sambil suara bergetar akhirnya saya berkata, “hmmm…ini boleh duduk gak sih? Boleh kan ya duduk?” yap benar sodara-sodara mereka tetap nyiyir, tapi ya udahlah, saya langsung jongkok sambil ambil napas dalam-dalam, sebenarnya pengen tiduran juga, tapi jangan deh, nanti malah diseret, soalnya mereka barbar banget, hahhahaa.



Hmmmm, jalanan yang nanjak semakin menguras tenaga, napas tersengal-sengal dan kemasukan debu, lengkap sudah. Pada akhirnya sampai di pos 3 yang tracknya semakin aduhai, banyak akar pohon yang menjuntai-juntai dan sampai menutupi jalur, bahkan beberapa kali kesandung dan suatu ketika saya kesandung sampai terjerembab dan berteriak, “wadaaaaaaw!!” padahal itu lagi rame-ramenya orang ndaki. Tengsin beraaat cuuy, tapi tetep aja stay cool dan act seolah gak ada apa-apa. Capek ya allah, tapi puncak tinggal dikit lagi. “yuuk, 10 menit lagi udah mau 2 jam, bentar lagi nyampe!” kata Anggara mengingatkan. Selama perjalanan ke puncak, Mbak Tiva ga berhenti ngomong, gilaaak energinya full charge pokoknya, Rahmat, Faisal, Anggara, Panggih yang meski gendong cariier-carrier segede gaban tetap sok cool dan kayak gak capek *tapi setelah disenter mukanya, gilaaak jeleeek banget wkwkwkwkwkk. Mas Della yang dikit banget bawaanya sesekali ngecek Mbak Nov yang jalan duluan *dasar lelaki kardus.



Selama tracking kesyumukan melanda, kzl karena dari basecamp udah pake jaket dobel, basah deh kaos yang dipake. Tiba-tiba bilang sama Mbak Tiva, “Mbak, pengen sup buah ni” *yakali. Setelah 2,5 jam tracking, berjibaku dengan kekuatan bulan, jurus kendalibumi, dan doa ibu, kami sampai di puncak! Yorobuuuuun, kami sampai puncaaaaak! Trus melongo karena di puncak udah kayak jambore nasional. Tendanya banyak bener, sekarang kami bingung mau mendirikan tenda di mana. Pas kami istirahat dan selonjoran, Captain dan Rahmat muter-muter nyari spot untuk tenda kami berdiri *good job. Setelah dapat spot kami mendirikan dua tenda, tenda berkapasitas 2 orang untuk Mbak Tiva dan Mbak Nov, dan tenda berkapasitas 6 orang untuk lelaki-lelaki. Rameeee yaa, dan tenda kita agak di gundukan, iya saya tidur berbantalkan gundukan. 






Setelah tenda berdiri kokoh dan kita menata tempat dan barang-barang, Faishal, Mas Della, Panggih langsung tidur, Mbak Tiva dan Mbak Nov juga masuk tenda. Rahmat dan Anggara asyik masak mie dan air panas. Sempat ku tertidur sebentar dan tiba-tiba mie rebus plus telur udah jadi, yippiee! Siapa yang bisa nolak mie rebus telur panas dan makannya di puncak gunung saat malam-malam dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00, saatnya tidur. Semoga tidak ketinggalan liat sunrise.





Akhirnya kami bangun pagi dan liat sunrise cuuaantik dengan pemandangan berbagai gunung yang terihat dari puncak Gunung Prau, subhanallah cantik pokoknya. Akhirnya salah satu hal yang paling diinginkan terlaksana juga. Tentu saja kami berfoto dari mulai matahari belum nongol sampai matahari agak tinggi. Captain buat video timelapse matahari terbit, tapi di area kita foto-foto, hmm kalau kita deket-deket hapenya, dia geram dan langsung bilang, “Awas….awas...nyenggol tak polo!” hmmm yakali, padahal spot foto tu terbatas because banyak bener orang yang mau ambil gambar. Lapaar melanda, mereka masak air dan saya masih asyik foto-foto *maafkan orang norak ini gaaes, kami sarapan popmie *sluuuuuurrrp.




Pukul 08.00 kami memutuskan untuk packing dan bongkar tenda, saatnya pulang. Perjalanan turun lebih cepat, waktu tempuh hanya 1,5 jam. Kalau pas turun tenaga kaki lebih dibutuhkan, karena harus nahan berat tubuh juga, asli pegeeeel. Tapi pas turun jadi tahu pemandangan kanan kiri yang sumpah biutipul bangeeet, emejing pokoknya. Tapi tetep aja berdebu dan debunya keliatan, meski gitu turunnya juga traffic di awal karena banyak banget yang turun. Tadinya aku bawa logistik sisa, tapi kutukar dengan bawaan Mas Della yang hanya bawa air minum, *yakali badan gede bawaan dikit. Tapi waktu turun kakinya tremor, hehehe salah siapa punya kaki panjang, “Poor you raksasa”.



















Sampai basecamp dengan penampilan gembel membuat kita pengen mandi. Tapi Captain bilang mandi pom bensin di bawah. Okeeee! Pas perjalanan ke pom si Faishal minta turun di gapura Dieng yang hits itu “Poto dulu bentaar!”, katanya kalau mau dipost mau dikasih caption “wisata budaya nasional” yasalaaaam. Setelah itu kami lanjut perjalanan dan beli oleh-oleh. Sampai pom kami semua mandi dan lanjut perjalanan untuk makan. Dari tempat makan kami berpisah dan kembali ke tempat masing-masing. Saya dan Rahmat kembali ke asrama melalui Purworejo. Di tengah perjalanan saking ngantuknya, saya hampir saja ngglebak waktu dibonceng Rahmat. “Mat, mampir indo apa alfa dong, mau beli kopi.” Serius ngantuk banget. Lanjuuut perjalanan kami berdua ngembaliin tenda ke tempat persewaan, sampai asrama pas maghrib.









*my team!


Seru itu ketika muncak dan nge-camp untuk pertama kali bareng sama mereka. Walau mereka udah expert banget, mereka mau nunggu saya dengan sabar. Ucapan terima kasih dan salut buat mereka yang mau menemani saya sampai puncak. Mereka ga ngremehin atau sok banget karena udah berkali-kali naik gunung. Kalau ditanya kapok nggak? Saya menjawab nggak sama sekali, malah pengen lagi… siapa tahu besok-besok mendaki gunung yang tracknya bisa lebih dari 5 jam *wkwkwkw yakin ga ngeluh lu Ndo?. Saya akui, saya bukan anak gunung, saya lebih suka ke pantai. Tapi sebisa mungkin saya menantang diri saya sendiri untuk melakukan banyak hal. Meski ini baru pendakian yang dibilang mudah sama yang sudah biasa naik gunung, tapi bagi saya yang newbie banget ini adalah hal sulit. Angkat topi untuk team yang menemani saya camp pertama kali di gunung, mengajari banyak hal dan membuat perjalanan ini jadi memorable bangeeeet *peluuuk satu-satu! 







Gunung Prau, 28-29 Juli 2018
  • 0 Comments

Yes, I’m back dengan tergopoh-gopoh nulis setelah nonton ini film. Jadi, beberapa kali wacana mau nonton dengan beda-beda orang dan hasil akhir gagal semua, akhirnya saya ngajakin Mbak Tiva yang sekalian mau bayar utang #hahaha hari ini untuk nonton. Rencananya pengen banget nonton ini film sebelum masuk asrama dan jadi trainee produce 101. Yess, maka saya bujuk-bujuk Mbak Tiva buat nonton ini film dan dia maukk #yeeeeegakknontonsendiri. Maka dari itu kite janjian ketemuan di Artos, pas ngantre tiket udah mepet banget yang tayang jam 11, trus berhubung film ini jatah layarnya banyak banget -tiap tiga puluh menit ada coyy #aslibanyak-, kita jadinya pilih yang tayang jam setengah dua belas. Sambil nunggu, kita main gundu. Nggak ding!

Setelah masuk ke studio nomor 2, hampir setengah studio keisi dan kebanyakan anak-anak sekolah dan orang pacaran. Kita sempat bingung, ni bocah-bocah pada bolos ye, kok banyak anak-anak sekolah keliaran di jam-jam segitu si. Trus sebelum filmnya mulai, ada Iqbal tiba-tiba nongol dan ngomong yang intinya, “Maaf saya tak bisa bersama kalian karena harus balik ke Amerika untuk sekolah.” Seraaah Bal seraaah dehh. Film ini berangkat dari sudut pandang Milea kayak bukunya, trus adegan awal kayak di trailer yang ngomongin ramal-meramal ketemuan di kantin, Mbak Tiva ngakak so hard, aku mesem-mesem doang. Ceritanya seputar Dilan dan Milea, perjalanan mereka mau jadian.. Iya, satu jam lima puluh menit kita bakal diajak untuk liat gimana lika-liku jalan mereka mau jadian. #hooh.



Gilaak yaaa, si Iqbal ini melampaui ekspektasi jadi Dilan. Secara kan pas dulu awal-awal khalayak ramai pada kagak terima si Iqbal ini jadi sosok Dilan yang ikonik banget. Menurut ane si Iqbal cocok-cocok aja, karena mendingan sebelum nonton gak ada ekspektasi apa-apa. Mulai dari mimik muka, gestur, cara ngomongnya dapet banget dan merepresentasikan Dilan yang tengil tapi memesona kaum hawa. Untuk debut Vanesha yang jadi Milea surprisingly juga kece, pas deh pokonya. Trus jalan ceritanya persis kayak yang di buku tapi ga semua tokoh ada. Film ini pakem dengan bukunya dan memvisualisasikan bukunya dengan kece.




Setiap si Dilan ini ngegombal, cewek-cewek satu studio pada kesengsem manjaah teriak-teriak dan pada baper gitu, trus yang cowok-cowok mungkin pada mbatin aja, “babik”. Joke-joke yang ada sukses bikin ketawa meski gak semua. Beberapa weakness film ini: tokoh-tokoh pendamping yang kurang banget dieksplor, come on! ini ada Wati, Piyan, Susi, Anhar atau bahkan Disa yang kurang kegali. Mereka kayak tempelan, padahal ada Disa yang kiyowoooh banget #sumpah. Trus Dilan yang jadi “panglima tempur” gengnya juga kurang greget, pas adegan fight aja sama Anhar yang sedikit kerasa, padahal bad boy banget di bukunya, si Dilan versi Iqbal agak sante si menurut ane kagak ngotot-ngotot banget. Iya, di beberapa part ada Dilan yang ngelucu sama Milea, tapi mereka kayak ga tau ada kite-kite yang nonton, alhasil mereka asyik sendiri ngelucu #hellooowwhhhweareheregaaeeees. Trus sebenarnya film ini bisa aja rampung cepet tanpa bertele-tele tanpa adanya perpindahan scene yang banyak, itu lho misal shoot matahari terbit, shoot rumah tokoh utamanya, langit dan pohon-pohon. Iya, menurut ane, banyak banget pindah scene ga penting, kesannya jadi lama dan ganggu.




Trus adegan mereka telpon-telponan juga banyak, sempat mikir si tadi di bioskop. Kalo di filmnya ga ada telpon jangan-jangan setengah jam udah bubar ni film, dan si Dilan kalo nelepon lewat telepon umum biar memberi kesan anak jalanan banget. Padahal di rumahnya ada telpon #sukasukaDilandong #ditampolceweksatustudio. Dan setiap ada telepon di rumah Milea dan yang ngangkat si Bibik, kenapa Bibi harus bisik-bisik ke Milea ngasih tau siapa yang telpon padahal yang lain bisa denger juga, why Bik why??? Kemudian klimaks di film ini kayak gak ada, sepanjang film agak mikir si di mana klimaksnya karena lupa isi buku, trus endingnya udah gitu aja. Yeesss, meski emang ada sekuel tapi kentang banget coyy kayak lagi sayang-sayangnya trus pergi ninggalin gitu aja...dan film ini cuma mau kita liat mereka jadian. #WhyBikWhy



Terlepas dari semua itu, kita suka sama konten ceritanya. Romantis ala-ala anak SMA zaman dulu yang unik dengan cara mereka. Percakapan romantis receh ala Dilan yang kesannya sederhana tapi menarik untuk diikuti. Yes, dulu ada Boy, Lupus, Rangga, anak zaman sekarang punya Dilan yang jadi sosok ikonik dan memorable. Cowok yang sukanya gombal tapi bad boy dan punya cara unik untuk ngedapetin Milea, mulai dari ngasih TTS, kerupuk, ramalan asal-asalan, hingga perhatiannya ke Milea yang gentle banget. Khalayak ramai pasti suka dengan film ini. Pengambilan gambarnya pas meski ada penggunaan CGI yang gengges abis, kece tu pas Dilan sama Anhar berantem dan glinting-glinting, kamera juga ikut muter-muter biar kite ngrasa jatoh kayak si Anhar waktu ditendang Dilan. Musiknya lumayan, merepresentasikan zaman dulu.

Saya gak benci sama filmnnya, menghibur kok #asli. Bahkan saya menunggu sekuelnya, Dilan 1991. Tapi saya lebih suka bukunya di mana Dilan dan Milea merepresentasikan kisah roman sederhana yang nyenengin untuk dibaca. Apalagi quote-quote bertebaran di mana-mana yang bisa dijadiin twit, status, meme, bahkan caption insta. Booming banget omongan Dilan yang ini, “Jangan rindu, Berat. Kamu nggak akan kuat, biar aku saja”, di mana-mana pasti baca atau denger kalimat ini, sampai anak sekolah yang nonton di bangku belakang sampe ngucapin dialog ini dulu ketimbang si Iqbal pas adegan telpon-telponan sama Milea. Heloowh dek, yang berat itu ga cuma rindu, kehidupanmu setelah SMA itu juga bisa jadi lebih berat. Oke bye. #stillfaboulustonyinyir
Rate 7/10.



Semua gambar dari sini .
  • 0 Comments
The Things You Missed #1

Ketika bangun tidur tiba-tiba saja kangen dengan hal-hal yang dilakukan di Polewali Mandar. Rutinitas yang udah setiap hari dikerjakan jadi membekas sampai sekarang. Banyak hal yang ane lakukan di sana dan langsung saja ambil note di samping tempat tidur kemudian ngelist hal-hal yang jadi rutinitas ketika di sana - rindu untuk melakukannya lagi. And this is my routine that I missed in Polewali Mandar….

Tidur
Top list yang agak nyeleneh, kenapa ane kangen tidur di Polewali. Ini karena ane hobi banget tidur, jadi di Polewali ane selalu tidur di manapun apalagi kalo ada bantal, udah deh pasti langsung pelor -hanya kesyumukan yang dapat membangunkan tidur ane. Tempat ternyaman tentu saja kursi sudut yang jadi tempat tidur ane selama setahun di sana. Tiga hari pertama kedatangan ane di Polewali dan disambut hangat oleh keluarga Bapak, ane tidurnya di kamar dengan kasur super empuk dan nyaman banget asli - jadi ga pengen untuk bangun pokonya. Setelah itu ane memilih kursi sofa di luar kamar untuk jadi my next place for sleeping. Iya kursi sudut bentuk L yang kadang ditemukan di rumah-rumah pada umumnya. Ane jatuh hati dengan kursi tersebut, pernah ane tidur di kasur penghancur badan (Bapak punya bed yang pegasnya udah nongol-nongol dan bikin sakit badan - secara permanen jadi tempat tidurnya Pi'i) dan punggung ane meronta-ronta kagak tahan. Finally, pada kursi sudut bentuk L ane berkata, “Everything comes back to you…!” ululululululu. Sering ane pindah-pindah tu posisi kursi karena kadang ada tokek nyebelin banget dari atas buang tahi dan pasti jatohnya di kursi. Untung aja pas ane tidur kagak kena tu tahi #sujudsyukur. Di sekolah ane juga pernah tidur, ini dikarenakan kagak ada kerjaan dan di sekolah cuma bertujuh, di ruang tamu kan ada kursi kayu tuh, saking bosan dan capek awal-awalnya baring-baring doang kagak tahunya ketiduran #niat. So, inilah kenapa tidur jadi rutinitas yang sangat-sangat ane rindukan.

 Pose tidur sekseeeh ane

Telepon di Malam Berbintang
Kurang so sweet gimana coba? Jadi setiap telepon emak bapak dan temen-temen di Jawa pasti saya lakukan di malam hari. Tempat favorit sudah jelas di balkon lantai dua rumah panggung Bapak. Seret aja kursi plastik ke luar - temukan tempat nyaman - pasang earphone - teleponan deh hmmm. Dan ditambah dengan view rasi bintang-bintang yang kece binggo, hal ini ga setiap malam si. Kalo pas lagi langit cerah aje, bintangnya banyak banget dan konfigurasinya cantik #asli. Pokonya romantic momen dan syahdu pas telepon ya di Polewali, kadang bisa berjam-jam telepon emak dan ngomongin banyak hal sambil memandang bintang. Momen syahdu tiba-tiba dirusak sama Widhi pas teriak dari rumah samping, “Eh itu tu Sagitarius yang kayak panah keliatan, yang merah agak gede tu planet Mars”. #iyainaja.

Nimba Air Pas Mati Lampu
Jadi di rumah Bapak dan Kakek hanya ada satu sumur dan itu pun pake sanyo. So, kalo mati lampu sudah pasti airnya kagak keluar dari keran. Di Campalagian, intensitas mati lampu itu tergolong sering dan unpredictable banget, kagak pagi-pagi buta maupun pas maghrib menjelang malam. Maka, jika saat mati lampu dan kita butuh banget air, kita nimba! Biasa si keliatannya, but akitivitas ini tu memorable banget. Coba bayangkan ketika pada belom mandi atau kebelet pup, rebutan kamar mandi dan jadi kacau balau udah kayak film The Hunger Games. Apalagi kalo pagi-pagi dan mau berangkat sekolah, hahahaha. Kadang kalo sore hari, ane ga boleh mandi duluan. Karena beberapa kali ane mandi dulu, tiba-tiba mati lampu disaat yang lain pada belum mandi dan itu gak satu-dua kali. Makanya ane disuruh mandi belakangan #kejam. Kadang kalo malem mati lampu, berdoa biar ga pipis tengah malem, jarak kamar mandi rumah Bapak ke sumur emang ga jauh tapi horornya itu lhoh coyy, jadi mending pipisnya sebelom bobok. #justinfo.

Berkebun
Di samping rumah Bapak ada lahan kosong lumayan luas, Mas Budi punya ide buat nanem sayur-mayur. Ya ane sih sama sekali ga berbakat buat berkebun, pegang pacul aja kadang tremor. Tapi bisalah kalo cuma nyiram-nyiram atau mbedholi suket - tapi kadang malesnya minta ampun. Yang ditanam aneka macam sayur-mayur yang bisa dimakan. Bergiliran nanem biji kangkung, bayam, terong, cabai, jagung. Kalo masa panen, bisa sebulan makan sayur kangkung terus, atau goreng terong dan bikin sambel terong terus. Lumayan ngirit kaga beli sayur karena tinggal petik aja kalo mau nyayur. Trus saking banyaknya sayur pas panen, kita kadang bagi-bagi ke tetangga atau guru-guru SMP. Tapi pas kita mau pulang udah pada ga mau ngurus lahan, Bapak pernah nanem jagung tapi hasilnya kagak bagus, kata bapak kagak manis dan rasanya aneh. Jagungnya banyak yang dibuang karena udah tua, tapi sebagian dibuat bakwan jagung #anesampemabokbakwan.


 Atas: sebelum di tanami. Bawah: kangkung, cabai, bayam udah tumbuh

Gitaran
I am so proud with myself, hooh. Di Polewali ini akhirnya ane bisa maen gitar dan nyanyi satu lagu dengan permainan gitar sendiri. Prookproookprrok. Pak Ahmad (kepsek pertama yang jemput kita di Dinas Pendidikan) punya gitar akustik yang bagus, belajar dari Pi'i dan Mas Bud, finally bisa genjreng-genjreng gitar meski cuma nada-nada dasar macam C, D, G, Am, Em, F. Itu udah jadi bekal banget karena rata-rata lagu gampang nadanya pake nada-nada dasar. Yess, release stress banget dan favorit place buat gitaran itu di tangga, because kalo di lantai bawah (Rumah Bapak adalah rumah panggung) suaranya macem menggema jadi apik pokonya. Ehh pas mau dua bulan sebelum balik, gitarnya diambil Pak Ahmad. Adasih gitar sekolah, tapi kata ane si suaranya bagusan gitar Pak Ahmad.

Nyebrang Maloso Pake Perahu Motor
Maloso adalah bahasa Mandar dari sungai, jadi ada sungai besar yang memisah kecamatan Campalagian dan Mapilli. Pertama nyebrang sungai pake perahu motor itu ketika ada monitoring evaluasi dari pusat di Mapilli. Baliknya kita jalan kaki dan nyebrang pake perahu motor karena lebih dekat nyebrang ketimbang lewat jalan poros. Sensasi naik perahu motor pertama kali itu excited dan deg-degan banget, gimana ni kalo kelelep atau mogok di tengah sungai. Masalahnya meskipun jarak antar tepi ga terlalu jauh dan hanya beberapa menit saja, tapi aliran air sungai lagi deras-derasnya. Bahkan kata murid-murid ada buayanya juga #yakali. Tapi ternyata aman-aman saja ketika sampai tepi, malah rasanya nagih dan pengen ngelakuin lagi. Beberapa kali nyebrang sungai pake perahu motor itu sewaktu promosi sekolah di SMPN 3 Mapili, trus ke Wonomulyo (alternatif ga lewat jalan poros), dan emang sekadar buat ngrasain sensasi naik perahu motor. Jadi pas sepedaan sore ane ketemu Cenceng (salah satu murid) yang mau pulang - rumahnya Mapilli jadi harus nyebrang sungai. Iseng deh ikut naik dan sekali bolak-balik naik perahu motor. Ini dikarenakan yang punya perahu motornya bapaknya Wahyu (salah satu murid juga) dan dia kadang yang nyetir perahunya -bantu bapaknya gitu. Jadi saya rame-rame bareng Cenceng, Sherly, Noni, Supia, Wahyu, dan Pahri naek perahu motor -dan saya super excited dan seneng ditambah gratis pula #serius. Oh iya, tarif nyebrang untuk satu orang cuma seribu perak dan motor dua ribu.




Duduk di Bawah Pohon Rindang
Kenikmatan hakiki siang menuju sore yang panas itu ketika duduk di bawah pohon rindang sambil minum ale-ale orange dingin. Jadi pas masih semester satu dan bangunan SMA masih belum jadi, kite kan numpang di SMP sebelah. Nahh, waktu itu kantor SMP jarang dibuka kalo sore. Alhasil meski kita ga ada jam ngajar, kita tetap masuk dan duduk-duduk di bawah pohon rindang ntuh. Jadi kite cuma nungguin yang ngajar sekaligus ngawasin murid-murid biar pada kagak pulang kalo pergantian jam atau gurunya gak dateng ngajar. Jadi duduk di bawah pohon mangga ini bikin adem karena sejuk, dan kadang kalo pas musim mangga kite sama murid rame-rame makan mangga yang masih kecut dengan hanya dicocol ke garam. Dan pas hujan baru deh kita pindah di emperan kantor.



Nyuci Baju
Ini aktivitas dua kali dalam seminggu yang sungguh sangat luaar biasaaaa ngangenin. Jadi di rumah Bapak ada balkon lantai dua di belakang buat tempat nyuci dan jemur pakaian. Di sana aktivitas mencuci dilakukan, kadang bisa sepulang sekolah, sore abis mandi, atau pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah. Karena hari minggu udah dicup sama Pi'i dan Anggri, maka sisanya selain hari minggu kalo mau nyuci. Soalnya bisa-bisa nanti rebutan tempat jemur dan hangernya. Meski ga dijadwal, tetep aja kudu bilang kalo mau nyuci biar bisa gantian. Kadang ane kalo nyuci ditemenin Mama, diajak ngegosip mulai dari A sampai Z dan kadang sampai Mama lupa sedang masak sayur! Ahahahahahhaa. Kalo pas anginnya kenceng kudu sering-sering dicek jemurannya, soalnya hampir semua pernah mengalami di mana pakaian ang dijemur kabur kanginan sampai antartika -sebutan ane untuk zona kebon belakang rumah tanahnya tetangga.


Nyuruh-Nyuruh Pi’i dan Widhi
Jadi duo Wonogiri ini yang paling sering ane suruh-suruh kalo di sana. Ini ngangenin banget sumpah. Jadi mereka adalah sosok-sosok yang mau aja ane suruh-suruh. Hahahahahahhaa. Kadang tanpa tedeng aling-aling ane nyuruh, “Pi’i cetotin itu dong (sambil nunjuk kabel charger),” atau kadang teriak, “Pi’i nitip teh gelas dong kalo mau ke kak Rabi.” Meski dengan muka enggan dan bibirnya nyungir-nyungir, tapi pasti dia lakuin apa yang ane minta. Kalo si Widhi -si bungsu- ane sering banget nyuruh-nyuruh mulai dari nitip nyuciin baju, gorengin tempe, bikinin milo anget, setrikain baju pokonya predikat Mbok Yem udah nempel ke dia -penghargaan khusus buat lo ini Wid-. Widhi kalo disuruh pasti marah-marah dulukk, tapi tetep dia lakuin juga #hahdasar. Pokonya nyuruh-nyuruh mereka itu kebanggan tersendiri, liat deh muka mereka yang awalnya gamau tapi tetep jalan (abis mereka baca ini pasti langsung chat marah-marah deh).


Poto bareng Mbok Yem dan Mang Diman

Masih banyak hal yang saya kangenin, tunggu part dua yes..!


  • 0 Comments
Postingan Lama Beranda

About me

"The most important thing is to enjoy your life — to be happy — it’s all that matters.”

Follow

  • instagram
  • twitter

Another Post

Labels

Cerita Pendek Curahan Hati Fotografi Jalan-Jalan Motivasi Potret dan Peristiwa Puisi Review Song Story of Family

instagram

Instagram

Template Created By : ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top