PROM



Malam ini adalah malam prom, harusnya aku bahagia tapi sepertinya aku tak dapat merasakannya. Aku sebenarnya malas untuk datang ke acara semacam itu, menurutku terlalu membuang waktu. Jika saja aku tak diminta untuk bernyanyi di sana aku tak akan pernah mau untuk pergi. Ini tahun terakhirku di sekolah itu. Ingin rasanya aku segera cepat pergi dan melepas semua, ya semua yang pernah hinggap di ingatanku selama tiga tahun ini.
Aku memakai jas warna hitam, ibu yang menyuruhku mengenakannya. Jas milik mendiang ayah. Ibu bilang aku seperti ayah 18 tahun yang lalu. Aku berangkat pukul 08.00 malam. Untung saja aku tak punya pasangan hingga aku tak perlu pergi lebih awal karena harus menjemputnya. Ini semua hanya untuk penampilan terakhirku di sekolah itu. Aku segera berangkat menggunakan sepeda peninggalan mendiang ayah, sepeda ini yang menemaniku selama tiga tahun ini. Jarak rumahku dan sekolah tak begitu jauh.
Sesampainya aku di sana, aku segera memarkir sepeda dan menuju ke aula sekolah, tempat prom. Ramai, kesan pertamaku untuk aula sekolah. Tim kreatif dan setting benar-benar hebat menyulap aula menjadi tempat prom yang begitu menakjubkan. Lampion-lampion sepanjang jalan menuju aula. Lampu-lampu kristal begitu luar biasa. Di dalam aula luar biasa ramai, panggung yang penuh warna dan satu set alat musik. Di samping terdapat meja yang diatasnya ada makan dan minum. Kursi-kursi hanya beberapa di belakang dan tengah aula yang kosong untuk berdansa. Aku benar-benar takjub dan menyelamati tim kreatif dan setting atas keberhasilan mereka menyulap aula sekolah menjadi tempat prom yang begitu hangat, indah, dan mengagumkan.
Acara prom sudah dimulai, aku tampil setelah penampilan salah satu band dari sekolah. Aku berjalan mengitari aula dan jantungku serasa berhenti ketika mendapati dirinya datang dengan pasangannya. Aku tak mampu mendeskripsikan bagaimana ia sekarang, yang jelas ia berbeda sekali malam ini. Ia memakai dress warna krem. Aku mematung, sekilas mata kami seperti bertemu. Tapi ia seperti tak peduli dengan keberadaanku. Ia menyapa teman-temannya. Aku masih mematung.
Setelah band tampil, kini giliranku untuk tampil. Aku gugup, benar-benar gugup. Aku seperti ingin berlari dan meninggalkan prom ini. Namun, namaku sudah dipanggil dan aku sudah di depan panggung. Aku naik ke atas panggung, sudah ada piano di sana. Aku memang meminta tampil solo dan hanya ditemani sebuah piano. Piano yang akan kumainkan sendiri. Aku duduk, dan menyamankan diriku sendiri. Mikrofon di depanku aku ketuk dan berbunyi. Aku menekan salah satu tuts untuk memastikan pianonya. Semua sudah siap. Namun, aku yang belum. Ratusan pasang mata kini melihatku dengan berbagai macam tatapan.

“Lagu ini bercerita tentang sebuah kerapuhan.....” Kataku untuk menarik perhatian penonton.
Aku mulai menekan tuts dan membentuk sebuah irama, nada-nada sendu dan rapuh.
Aku mulai bernyanyi,

I remember years ago
Someone told me I should take
Caution when it comes to love
I did, I did. . . .

Aku berhenti sejenak, menatap ratusan pasang mata yang tiba-tiba saja seperti antusias dengan penampilanku. Banyak dari mereka yang kini maju ke depan panggung. Aku melihat dirinya, ia juga mulai maju ke depan panggung dan meninggalkan pasangannya.
Ku lanjutkan lagi nyanyianku sambil menekan tuts-tuts piano. . .

And you were strong and I was not
My illusion, my mistake
I was careless, I forgot
I did
And now when all is done
There is nothing to say
You have gone and so effortlessly
You have won
You can go ahead tell them

Kubayangkan saat ia pergi dari cerita yang kami rangkai, ia pergi begitu saja. . .

Tell them all I know now
Shout it from the roof tops
Write it on the sky line
All we had is gone now
Tell them I was happy
And my heart is broken
All my scars are open
Tell them what i hoped would be
Impossible, impossible
Impossible, impossible

Semuanya kini ikut bernyanyi denganku, aku melihat dirinya. Ia hanya diam terpaku, tatapannya masih ambigu.

Falling out of love is hard
Falling for betrayal is worst
Broken trust and broken heart
I know, I know. . . .
Thinking all you need is there
Building faith on love and words
Empty promises will wear
I know, I know. . .
And now when all is gone
There is nothing to say
And if you’re done with embarassing me
On your own you can go ahead tell them

Ia masih melihatku dengan tatapan yang maknanya sulit untuk aku ketahui. Tuhan, aku tak mampu lagi. . . .

Tell them all I know now
Shout it from the roof tops
Write it on the sky line
All we had is gone now
Tell them I was happy
And my heart is broken
All my scars are open
Tell them what i hoped would be
Impossible, impossible
Impossible, impossible

Kini aku berdiri dan mengambil mikrofon, aku bangkit dan menghentakkan kaki mengikuti irama lagu, ku ajak penonton untuk bernyanyi denganku dan tanganku bertepuk di atas, kini nyanyian kami tak diiringi instrumen apapun. Semua mengikuti irama lagu.

Impossible, impossible
Impossible, impossible
Impossible, impossible
Impossible, impossible

Aku kembali ke piano dan mengakhiri klimaks dari semua ini dengan denting piano yang memasuki koda dan menutupnya dengan sentuhan piano agar ending dari lagu ini semakin menambah kesan sendu.

Impossible, impossible

Aku tak mampu lagi, aku segera bangkit dan turun dari panggung. Aku berlari entah ke mana, hingga kemudian aku duduk pada sebuah bangku di taman sekolah. Aku melonggarkan ikatan dasi hitamku. Tiba-tiba kepalaku pusing, hingga. . .
“Bukankah itu bukan lagu prom?”
Ada ia tepat di hadapanku, bagaimana bisa ia menyusulku sampai ke sini. Aku bahkan tak mendengar derap langkah kakinya.
“Kau tak menyanyikannya untukku kan?”
Aku menggeleng.
“Ku harap begitu, semua orang di aula seperti menghakimiku karena mereka ikut bernyanyi denganmu.” Kata ia.
Aku tak berani memandang matanya. Aku hanya diam dan tak mengeluarkan sepatah kata apapun.
“Kau tahu arti pendewasaan. . . ?”
Aku menggeleng lagi. Dia mendominasi percakapan ini.
“Kehilangan.”
Aku mengernyitkan dahiku.
“Kita akan berpisah, kau dengan mimpimu dan begitupun denganku. Sekarang semua berbeda. Ku kira aku belum siap kehilanganmu. Namun aku perlahan mencoba sedikit demi sedikit untuk melepasmu menjadi seseorang yang menghargai impiannya. Aku menyayangimu. Waktu terbaik yang kita miliki sudah berlalu.” Ia berbicara panjang lebar.
Aku menutup mukaku dengan kedua tangan.
“Dengarkan aku, aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau telah melukiskan cerita indah di buku kehidupanku. Kau mampu menjadi bab terbaik yang pernah aku catat. Please don’t judge me!” Ia mulai meneteskan air mata.
Aku mulai membuka mulutku dan mengeluarkan dua kata, “Siapa dia?”
“Dia. . .hanya sepupuku, ku harap kau mengerti.”
Kemudian kami sama-sama diam.
“I wanna say thanks too.”
Dia memelukku, sangat erat. Tuhan aku tak mampu lagi. . .
Kami bercerita sangat lama, esensi dari semua ini adalah waktu. Waktu yang mengatakan segalanya. Dia pamit, meninggalkan aku sendiri di bangku itu.
Kemudian aku pulang sambil menuntun sepedaku, sepanjang jalan aku menangis. Untuk kali ini biarkan aku mengeluarkan segalanya. . .
Sesampainya aku di rumah, aku memeluk ibu dan aku menangis di pelukannya. Tuhan, mengapa urusan hati bisa serumit ini.

***

Terima kasih lagu Impossible dari Shontelle meskipun aku lebih suka versi James Arthur, begitu mengagumkan.


You Might Also Like

0 comments