Haruskah Aku Menunggumu Lebih Lama

taken from zedge.net


Namanya Marissa. Independen, introver, keras kepala, dan terlihat kuat namun sebenarnya rapuh di dalamnya.  
Namanya Andra. Sabar, simpatik, optimis, dan memandang segala sesuatu dari sisi realitas yang ada.
Andra menyukai Marissa hampir sepuluh tahun lamanya. Ya, sepuluh tahun. Entah mengapa Andra sampai bertahan selama itu, padahal banyak temannya yang bilang, “Kau terlalu membuang waktumu untuk bermimpi disaat kau dapat bangun dan mewujudkan mimpimu yang lain”. Ada juga yang bilang, “Apa kau tak sakit ketika merindukannya padahal dia tepat dihadapanmu dan kau tahu tak bisa memilikinya?” Andra hanya percaya pada kekuatan doa. Itu saja.
Marissa tahu, tetapi ia tetap berteman dengan Andra. Ia tak ingin urusan cinta menyulitkan segalanya. Marissa punya kekasih, dan tentu saja itu bukan Andra.
Andra bekerja di sebuah perusahaan advertising, Marissa bekerja di sebuah E.O.
Mereka sering bertemu, sekedar untuk berbicara hal-hal yang ada di sekitar mereka. Sore itu mereka bertemu di kafe, berbicara hal apapun. Marissa lebih sering mendominasi pembicaraan tersebut. Andra lebih banyak diam dan mengamati Marissa dengan saksama, memendam rasa kagum dan perih.
“Mengapa kau menyukaiku, Andra?” Pertanyaan singkat dari Marissa yang jelas membuat Andra serasa tertusuk ribuan jarum.
“Kau tak bisa memilih dengan siapa kau akan jatuh cinta. Meski kau tahu tak seharusnya menyukai dia, kadang kau tetap akan menyukainya.”
Marissa tahu dia yang disebutkan Andra adalah dirinya. Suasana menjadi canggung, Marissa meminum Moccaccinonya. Andra memandang ke arah lain, ia tersenyum kecil.
“Aku bertengkar lagi dengan Tirta, ini sudah keempat kalinya dalam dua minggu ini.” Marissa mulai menangis. Ia tak suka berbicara hal pribadinya pada siapapun, tetapi dengan Andra ada hal yang berbeda. Ada kenyamanan entah datang dari mana yang membuatnya menceritakan kehidupannya meskipun hal itu adalah hal pribadi sekalipun.
“Kita sudah membahas ini beberapa kali dan pernyataanku masih sama bahwa kadang berpisah berarti stop untuk saling menyakiti.” Ingin sekali Andra menghapus air mata Marissa.
“Lalu aku harus bagaimana?” Tanya Marissa.
“Ya, itu semua terserah padamu, kamu yang menjalani itu semua bukan aku.”
“Makanya aku minta saranmu, bodoh!”
“Bukankah aku sudah bilang, jangan bicarakan kekasihmu itu di hadapanku. Kalau kau mau saranku dari hati kecilku, kau seharusnya berpisah dengannya!” Andra sedikit menekankan kata berpisah.
“Tetapi.....jika aku berpisah dengannya, belum tentu juga aku akan denganmu.”
Andra mematung, kali bukan hanya ribuan jarum yang menusuknya, tetapi jutaan dan seperti tepat mengenai jantungnya.
“Kita tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, kurasa Tuhan sudah menyiapkan rencana yang indah untukku, meski aku tak tahu kapan waktunya.”
Marissa semakin menangis tersedu-sedu. Andra bingung dengan apa yang harus diperbuatnya.
“Sudahlah Marissa, aku tidak ingin orang-orang di kafe ini berpikir yang macam-macam tentang kita.”
“Bukankah itu maumu, orang-orang berpikir kita ada apa-apa.”
“Apa maksudmu?” Andra mengernyitkan dahinya.
“Ya, kau kan senang jika disangka ada apa-apa denganku.”
“Aku tak seperti itu Marissaa!” Andra marah, kali ini dia pergi meninggalkan Marissa di kafe itu. Marissa bingung, apa kata-katanya melukai hati Andra sehingga Andra pergi meninggalkan dirinya. Marissa masih menangis, bukan karena permasalahannya dengan kekasihnya, tapi karena ia takut melukai hati Andra dengan perkataannya.
Malamnya, Marissa mencoba menghubungi ponsel Andra. Tapi, Andra tak menjawab. Tidak cuma sekali Marissa mencoba menghubungi Andra, tapi berkali-kali. Hasilnya nihil, Andra tak mau mengangkat ponselnya. Marissa menangis, lagi.
Keesokaannya sepulang dari kantornya, Marissa pergi ke rumah Andra. Namun, kata orang rumah Andra sedang pergi. Seharusnya ini jam pulang orang-orang dari kantor. Marissa bingung, ke mana sebenarnya Andra. Ponselnya mati. Marissa masih merasa bersalah pada Andra jika mengingat perkataannya saat di kafe.
Seminggu berlalu, Andra masih menghilang entah ke mana. Orang rumah hanya bilang Andra sedang ada keperluan di luar kota. Marissa bingung, ia menduga Andra benar-benar menghindarinya. Kini, Marissa cemas bukan main. Ia takut melukai perasaan Andra. Ia jauh berpikir ke masa lalu di mana ia tahu Andra menyukainya, sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Ia berpikir, mengapa Andra sampai sekarang belum punya kekasih. Ribuan pertanyaaan kini hinggap di kepala Marissa.
Hingga ia terlelap dalam tidurnya, ia bermimpi. Kali ini semua berbanding terbalik. Di sana ada Andra, dan ia seperti tak peduli dengan Marissa yang terus memanggilnya. Marissa terbangun, ia mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat. Dua hari selanjutnya, ia memimpikan hal yang sama. Serasa Marissa yang mengejar Andra, dan puncaknya ada pada ketika Marissa melihat Andra menggandeng tangan seorang perempuan. Ketika Marissa memanggil Andra semua terasa aneh, Andra seperti tidak peduli. Marissa tahu ini mimpi. Ia segera bangun dan menangis, hatinya terasa pilu dan sesak.
Keesokannya, petang hari. Marissa pergi ke taman yang ada di sekitar rumahnya, di sana ia menumpahkan seluruh air matanya, ia menangis untuk kesekian kalinya.
“Baru saja aku dari rumahmu, dan kata orang rumah kau meninggalkan rumah dengan terburu-buru dan menangis. Satu-satunya tempat yang kau kunjungi ketika kau ada masalah ya di tempat ini.”
Marissa kaget dengan suara yang sangat dikenalnya.
“Andra...!!!”
“Aku baru saja dari luar kota karena urusan pekerjaan, maaf tak pernah mengangkat telepon darimu.” Kata Andra.
“Darimana saja kau? Kau membuatku panik setengah mati. Kau tak marah denganku?” kata Marissa dengan nada tinggi seraya ia menghapus air matanya.
“Aku tak bisa marah denganmu, kau tahu itu.”
“Dasar laki-laki tak tahu diri.” Kali ini Marissa memaki Andra.
Andra menghela napas, ia berbalik dan akan meninggalkan Marissa, tiba-tiba saja. . .
“Jangan pergi lagi, bodoh! Tak tahukah kau aku sangat kalut jika kau tak ada.” Kata Marissa sambil memeluk Andra dari belakang dan Marissa menangis lagi.
“Marissa. . .” Andra kaget.
“Aku tak tahu perasaan apa ini? Aku ingin begini sebentar saja.” Marissa masih memeluk Andra.
“Bagaimana kalau orang lain melihat kita?” Tanya Andra.
“Sssssttt.....jangan banyak bicara, bodoh!” Bentak Marissa.
Sesaat Marissa masih memeluk Andra dari belakang. Hingga ia melepas pelukan itu dan sekarang mereka berhadapan. Andra punya keberanian untuk menghapus air mata Marissa yang terlanjur jatuh. Lalu Andra menggenggam tangan Marissa dengan hangat.
“I don’t know what happen?” Kata Andra.
“Aku juga tak tahu, mimpiku kemarin-kemarin dan kedatanganmu sekarang, di sini. Ku rasa aku menyebutnya dengan ruang dimana aku tahu apa itu suatu kenyamanan, jika denganmu pastinya.”
“Lalu kita sekarang...?” Tanya Andra dengan wajah bodoh.
Ssssssstttttttt.......Telunjuk Marissa sudah di bibir Andra. Kali ini Andra yang memeluk Marissa, hingga.......
“Marissaaaaaa...!!!!”
Mereka berdua menoleh.
“Tirta??” Jawab keduanya bersamaan.

***

You Might Also Like

0 comments