Dia (Elga) yang (Kadang) Puitis


Kau tahu sajak yang berbicara, hingga kini aku masih tertegun dengan reaksi-reaksi yang tak pernah dapat aku mengerti. .
Aku hanya mampu membiaskan jawaban-jawaban konstan yang tak semua jiwa mengerti.  Aku dan Elga (seseorang paling gila yang aku tahu) saling membiarkan aksi-aksi di balik reaksi jawaban-jawaban yang tak pernah diketahui itu.
Aku: “Kau lebih tahu dari banyaknya bintang di setiap malam yang menemani malam, hingga cahaya sinar pagi datang.”
Elga : ”Ah, kau terlalu merendah. Aku tahu matahari memberimu sinar tanpa kau perlu mencurinya untuk menerangi kehidupan.”
Aku: “Matahari terlalu merengkuhmu hingga aku berpaling tak menampakkan wajahku di depanmu, sesungguhnya ia tahu aku enggan melihatmu.”
Elga: “Kau mengada-ngada. Matahari memberi ruang yang cukup untuk mempertemukan aku dan kamu dalam hamparan langit yang luas.”
Aku: “Langit hanya membisu dan tak tahu apa-apa, yang ia tahu aku berpaling dari wajahmu. Wajah yang telah menghakimiku, jauh di masa lalu.”
Elga: “Entahlah, aku hanya masih saja berharap langit menyelamatkanku dari curahan-curahan cinta yang terpancar dari wajahmu.”
Aku: “Sayangnya langit tak berpihak pada siapapun, kau masih duduk di kegelapan dan aku berdiri di jingga temaram.”
Aku: “Aku enggan kau melihat wajahku sebegitu dekat saat senja membiaskan sinar temaramnya, karena kau akan tahu. Aku yang rapuh.”
Elga: “Tolong jangan kau rapuh, jangan paksa aku menjadi ingin merengkuhmu untuk menguatkanmu di senja yang memanggil-manggil.”
Aku: ”Kau tak perlu merengkuhku, biar sayap-sayap senja jingga temaram yang memelukku. Aku hanya ingin engkau paham akan masa lalu.”
Elga: “Bagaimana mungkin aku masih harus memahami masa lalu, jika masa depan kita sudah menunggu di ujung jalan.”
Aku: “Masa depan masih menjadi misteri saat kita masih terjebak di masa lalu. Kau pergi dengan membawa seribu batas-batas garis cakrawala.”
end

You Might Also Like

0 comments