Chapter 2: Dari Juni untuk Bulan


Keesokan harinya Bulan menunggu kedatangan Juni. Ia cuma berharap satu hal, yaitu kedatangan Juni. Ia tidak menginginkan hal yang lain selain kedatangan Juni. Namun, semakin matahari bergerak ke barat Juni tak kunjung datang. “Mungkin ia akan datang besok, bisa saja ia sedang beristirahat karena baru keluar dari rumah sakit.” Pikir Bulan. Hari itu Bulan sudah tidak menggunakan kursi roda, sekarang kakinya cukup kuat untuk berjalan-jalan sekitar kamarnya.
Keesokannya Juni juga tetap tidak datang, bahkan sampai hari-hari berikutnya ia tak datang. Perasaan gundah menghinggapi Bulan. Bulan berpikir bahwa Juni memang tak punya perasaan apa-apa, apalagi dengan dia yang hanya seorang gadis buta. Sore itu ibu datang dengan berlari dan membawa sesuatu hal yang penting untuk Bulan. Sebuah amplop berwarna putih polos tak ada nama pengirimnya hanya tertera dua kata, Untuk Bulan.
Ibu memulai membuka amplop itu. Ada sebuah surat didalamnya. Ibu kemudian membacakannya untuk Bulan. Ibu mulai dengan nada pasti.
Untuk Bulan,
Meskipun aku bukan seorang penyair, aku ingin kau mendengarkan puisi yang ku buat untukmu.
            Bila ada yang tahu  jika aku mencintaimu, dengan disaksikan angin malam yang selalu menemaniku. Buku-buku membiarkan tiap halamannya kupahat namamu dengan tinta kasih yang benar-benar tulus. Namun kini leburan asap membawa kabar nestapa. Kau harus tahu jika aku masih berdiri di pohon itu, saat kau menebangnya dengan hatimu.
            Ibu melanjutkan membaca surat itu dengan nada pelan,
            Puisi ini untukmu, khusus untukmu sebelum kau mengetahui kenyataan-kenyataan tentang diriku. Ini adalah kenyataan yang pertama tentang diriku bahwa sebenarnya aku mencintaimu. Sungguh sangat mencintaimu. Tak dapat dihalangi oleh apapun. Kenyataan yang kedua adalah aku bukanlah pasien di rumah sakit itu. Aku berbohong kepadamu. Aku mengaku pasien rumah sakit tersebut hanya agar sesering mungkin bertemu denganmu.
            Ibu berhenti membaca, dugaannya selama ini benar. Tidak ada pasien bernama Juni di rumah sakit ini. Ibu mulai membaca lagi, kali ini ibu terkejut dengan apa yang dibacanya,
            Kenyataan yang ketiga adalah bahwa aku seorang pecandu narkoba. Ya, aku adalah seorang pemakai. Aku menyesal. Mengapa aku mengenal narkoba sebelum mengenalmu. Aku selau ketagihan dengan barang haram itu. Aku tidak bisa lepas dari barang itu. Tapi, semenjak aku mengenalmu aku mulai tidak menggunakan narkoba, kamu sesungguhnya yang dapat menjadi narkobaku.
            Bulan sudah meneteskan air mata. Ibu berhenti membaca, sama sekali tak percaya apa yang akan ia bacakan untuk Bulan.
            “Ayo Bu lanjutkan membacanya.” Pinta Bulan. Kemudian dengan berat ibu melanjut-kan membaca.
            Kenyataan yang keempat adalah bahwa pada hari dimana aku sakaw, secara tak sadar aku menabrak seorang gadis di jalan. Aku takut, karena gadis itu berdarah dan tak sadarkan diri. Jalanan sepi, akhirnya aku memilih kabur dan tak menolongnya. Aku memang pengecut. Dan sehari setelahnya aku menemukannya di sebuah rumah sakit. Ya, gadis itu adalah dirimu Bulan.
            Ibu menangis. Bagai tersambar petir di siang hari, Bulan terpaku seolah tak percaya apa yang ia dengar, Sambil menangis ibu melanjutkan membaca surat itu,
            Kenyataan kelima adalah mungkin disaat kau mendapat surat ini, aku sudah pergi. Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku tidak pernah lagi menjengukmu. Kau tahu aku memang seorang pengecut. Kali ini aku pergi jauh, dan tak akan pernah kembali lagi. kutitipkan sesuatu padamu dan kau harus menjaganya. Kadang butuh kesalahan untuk membuat kita bijaksana, karena dari sanalah kita mendapat sebuah pelajaran. Dan aku benar-benar mendapatkannya. Ketabahanmu, menjadi semangat untukku. Aku pamit melalui surat ini. Bila aku melihat wajahmu, aku takut tidak akan punya keberanian untuk pergi. Dulu kau sudah memaafkan orang yang menabrakmu dan orang itu adalah aku. Terima kasih, aku pergi dengan perasaan lega. Cintaku tidak akan sampai disini, aku akan memperjuangkannya di kehidupan nanti meski itu harus menunggu seribu tahun. Aku akan selalu mencintaimu. Salam. Juni.
            Ibu kemudian memeluk Bulan yang menangis tersedu. Hujan turun membasahi tanah. Kemudian hari bulan mendapat kabar, Juni meninggal karena bunuh diri. Dan ia mendonorkan kornea matanya untuk Bulan. Bulan bimbang, haruskah ia bahagia atau sedih. Hanya hujan yang tahu dengan membawa kedamaian ketika kepingan-kepingan itu menjadi satu dan mengatakan segalanya.

You Might Also Like

0 comments