Chapter 1: Dari Juni untuk Bulan
Pagi itu matahari tampak murung, ia
tak mau muncul dan lebih senang berada di balik bayang-bayang awan. Burung pun
enggan untuk terbang, sepertinya malas dengan keadaan hari itu. Yang ada hanya
mendung, mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Awan hitam pekat mulai
menguasai seluruh permukaan langit. Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya
hanya dalam hitungan detik. Semuanya tampak tak bersahabat hari itu.
Ceritanya ada pada sebuah rumah
sakit dimana sesosok gadis bermuka muram duduk di kursi roda dengan tatapan
kosong memandang ke arah yang tak jelas. Gadis itu bernama Bulan, dan kenyataan
yang harus ia hadapi adalah ia baru saja mengalami kebutaan, korneanya rusak.
Ia adalah korban tabrak lari. Riang dulu kala berubah menjadi muram, senyum
bahagia diwajahnya hilang dan berganti menjadi gurat-gurat kesenduan. Sudah
seminggu dia dirawat di rumah sakit itu. Hatinya penuh sesak nyaris hancur
setelah tahu matanya tak dapat lagi melihat. Ia meluapkan emosinya hanya dengan
menangis setiap hari. Dan hari itu dia menangis untuk kesekian kalinya. Di
rumah sakit itu ia selalu ditemani ibunya. Ayahnya meninggal sewaktu ia masih
kecil. Selain ditemani ibunya, ia ditemani Juni.
Juni adalah seorang pemuda yang
juga pasien di rumah sakit itu. Seminggu ini mereka menjadi akrab. Mereka
selalu bercerita banyak hal. Apapun bisa menjadi bahan pembicaraan mereka
berdua. Kali ini Juni menghampiri Bulan yang sedang menangis dan berada di
beranda kamar rawatnya.
“Apa air matamu tak habis jika
setiap hari kau menangis?” tanya Juni.
“Aku hanya tak tahu harus berbuat
apa. Aku rindu melihat hujan. Bahkan aku lupa bagaimana hujan itu.” Kata Bulan
seraya mengusap air matanya.
“Kau tak perlu melihatnya, kau
hanya perlu merasakannya.” Perlahan Juni mendorong kursi roda Bulan dan membuatnya lebih
dekat dengan hujan. Kemudian Juni memajukan tangan Bulan hingga hujan pun
mengenai tangan Bulan.
“Terima kasih,
Juni. Aku memang baru saja buta dan sekarang yang ada hanya kegelapan. Tapi
semenjak ada dirimu aku dapat melihat sedikit cahaya.” Bulan berbisik lirih.
“Apa itu sebuah
pujian?” tanya Juni.
Bulan
tersenyum, senyumnya mengundang pertanyaan besar dalam benak Juni. Seminggu ini
mereka selalu bersama jika ibu Bulan tak menemani Bulan. Juni tak pernah mau
bertemu dengan ibu Bulan. Bulan tak tahu kenapa, Juni tak pernah
menjelaskannya. setiap ibu Bulan datang, Juni buru-buru meninggalkan Bulan.
Padahal ibu Bulan ingin sekali bertemu dengan Juni. Juni juga tak pernah
mengatakan pada Bulan dia dirawat karena sakit apa. Juni terlalu penuh misteri.
Hujan kali ini
berhenti pada sore hari. Juni mengaku akan kembali ke kamar rawatnya setelah
mengantarkan Bulan kembali ke kamar rawat Bulan.
“Apa kau akan
kembali esok hari?” tanya Bulan dengan suara pelan.
“Jika ada waktu
yang tepat biarkan aku menjengukmu, menghiburmu, dan membuatmu melupakan
sejenak permasalahan yang kau hadapi sekarang ini.”
“Terima kasih
Juni.”
“Sama-sama.”
Jawab Juni.
“Aku tak tahu
mengapa kau begitu baik padaku. Bahkan sebelumnya aku tak mengenalmu. Mungkin kau malaikat yang dikirim
Tuhan untuk membuatku melupakan kesedihan ini,” mata Bulan mulai berkaca-kaca.
“Anggap saja
begitu, aku akan kembali esok hari.” Juni melangkah keluar dari kamar rawat
Bulan.
Hari berganti
malam, kali ini hujan sudah tidak turun sejak tiga jam yang lalu. Ibu Bulan
datang pukul lima sore tadi. Ibu Bulan adalah sosok yang tegar, sehari-hari
yang ia lakukan adalah menjahit untuk menghidupi dirinya dan Bulan. Tak bisa
jika hanya mengandalkan uang pensiunan ayah Bulan yang tak seberapa. Namun ia
tetap tabah menghadapai semuanya. Membayar rumah sakit biaya perawatan Bulan
saja menghutang dari tetangganya. Semata-mata yang ia lakukan hanya untuk
Bulan.
Ibu Bulan
sekarang benar-benar penasaran dengan seseorang yang bernama Juni. Karena
hingga detik ini ibu Bulan belum bertemu dengan Juni. Ia hanya mendengar dari
putrinya seperti apa orang yang bernama Juni itu. Rasa penasaran menyeruak
dalam hati ibu Bulan. Ia kemudian berbicara pada putrinya tentang misteri
seseorang yang bernama Juni.
“Apa benar ada
seseorang yang bernama Juni, Bulan? Kau tidak berhalusinasi bukan?” ibu memulai
percakapan.
“Apa maksud
ibu, dia itu nyata. Ibu mengira Bulan gila?” Bulan berbicara sedikit keras.
“Bukan begitu
Bulan, ibu sudah bertanya pada pihak rumah sakit jika tidak ada pasien yang
bernama Juni di rumah sakit ini.” kata ibu.
“Juni sendiri
mengatakan pada Bulan bahwa ia adalah pasien di rumah sakit ini. Dia nyata Bu,
dan Bulan rasa Bulan mencintainya. Dialah penjaga Bulan seminggu ini, dia juga
yang memberi Bulan kebahagiaan walau sekarang Bulan sedang hancur.” Bulan mulai
berkaca-kaca.
“Bagaimana bisa
kau mencintainya? Dia baru satu minggu ada dihidupmu Bulan,”
“Aku tak tahu
Bu, disaat Bulan bersamanya Bulan merasa nyaman.”
“Bulan...,
memberikan cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu.
Jangan mengharapkan balasan nak, tunggulah sampai cinta ada di hatinya, tetapi
jika tidak, berbahagialah karena cinta tumbuh dihatimu.”
“Baik Bu, Bulan
akan selalu ingat pada kata-kata Ibu.” Bulan tertunduk lesu.
Hari itu,
langit kembali mendung disusul hujan yang tak begitu deras. Setelah tiga hari
tidak hujan, kali ini hujan berlangsung lama. Bulan kembali terpaku mencium bau
pertemuan tanah dan air hujan, rasa sejuk dan damai merasuk dalam nadi-nadinya.
Ia tak pernah merasakan sebegitu damai karena hujan.
Tiba-tiba Juni
muncul. Kali ini ia membawa sebuah kabar. Juni mengatakan bahwa ia sudah sembuh
dan diperbolehkan pulang. Ada sedikit rasa sesak dalam diri Bulan, Bulan sangat
merasa kehilangan jika nantinya tidak ada sosok Juni didekatnya. Kali ini Bulan
benar-benar mencintai Juni teman bicaranya selama beberapa hari ini. Sosok
penyemangat jiwa yang membuatnya merasakan arti hidup kembali. Juni berjanji
akan datang lagi. Kali ini Juni memeluk Bulan penuh hangat, Bulan merasa
jantungnya berdegup sangat kencang ia berharap Juni tidak mendengarnya.
“Bertemu
denganmu adalah sebuah takdir.” Kata Juni seraya melepas pelukan.
“Ya, karena
kejadian itu. Aku ada disini dan bertemu denganmu.”
“Apa kau masih
dendam dengan seseorang yang telah membuatmu begini, kumohon jangan.
Orang-orang yang pernah melukaimu adalah orang yang memberi pelajaran hidup
paling berharga. Kau harus kuat menghadapi semuanya.” Pinta Juni.
“Perih sekali
rasanya mendapatkan semua ini. Aku sudah memaafkan orang itu. Ini ujian dari
Tuhan, aku akan berhasil melaluinya.......Aku ingin sekali menjadi hujan.”
Bulan mengganti topik pembicaraan.
“Mengapa
begitu?” tanya Juni.
“Hujan bebas
turun sesukanya, tanpa ada rasa apapun yang menghalanginya. Yang ada hanya
perasaan damai.”
“Kalau begitu
aku ingin seperti pelangi.” Kata Juni.
“Mengapa?”
tanya Bulan.
“Karena jika
Tuhan menciptakan pelangi untuk mengindahkan langit setelah hujan reda, maka
Tuhan menciptakanku untuk keindahan hidupmu.”
Kali ini Bulan
tersipu dan menunduk malu. Mukanya memerah semu. Ia yakin benar bahwa hatinya
tak salah memilih Juni. Sepanjang hari itu Juni dan Bulan berbicara mengenai
banyak hal. Mereka tertawa bersama. Hingga hari menjelang sore dan Juni harus
pamit. Juni meninggalkan rasa sedih pada diri Bulan. Bulan tidak ingin Juni pergi,
dia adalah orang yang ia kasihi selain ibu. Bulan meneteskan air matanya, ia
tersedu menahan agar air tak keluar dari matanya. Tapi sia-sia, air tetap
mengalir begitu saja.
Tiba-tiba ibu
datang. Menghampiri Bulan yang sedang menangis sendirian. Lalu ia bertanya
kenapa Bulan menangis. Dan Bulan menceritakan semuanya. Ibu mengerti, ia
menghibur Bulan dengan berkata, “Pasti ia akan kembali lagi Bulan, tak usah kau
risau. Percayalah pada ibu.”
“Bulan sungguh
sangat mencintainya Bu, sangat mencintainya.” Bulan masih tersedu.
“Kita lihat
saja besok. Ia pasti akan datang.” Kata ibu menentramkan hati Bulan.
0 comments